Jumat, 02 Desember 2011

sejarah peradilan islam

SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA Oleh: Kelompok III Hoiril Bariah : 1001110008 Jumiati : 1001110010 Ahmad Tohayin : 1001110033 Muhammad Lutfi : 1001110045 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Perjalanan kehidupan sejarah peradilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi peradilan agama melemah. B. Rumusan masalah Perjalanan peradilan agama dari masa kemasa yang terus berubah membuat kami berinisiatip untuk mengangkat dan mengulas hal-hal yang terjadi dalam perjalanan tersebut. Adapun rumusan masalah yang akan kami ulas adalah: a. Masa Prapemerintahan Hindia Belanda b. Periode Transisi c. Masa Pemerintahan Hindia Belanda I d. Masa Pemerintahan Hindia Belanda II e. Masa Penjajahan Jepang f. Masa Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia BAB II PEMBAHASAN Sistem peradilan agama di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh penguasa Mataram. Peradilan Agama di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang, jauh sebelum bangsa ini memperoleh kemerdekaan. Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat bahwa sistem Peradilan Agama di Indonesia sudah dikenal sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Pada masa itu hukum Islam mulai berkembang di wilayah nusantara bersama-sama dengan hukum adat. Kendati demikian, dalam perjalanannya keberadaan peradilan agama mengalami pasang surut . Sejarah perkembangan peradilan agama dalam makalah ini dibagi menjadi enam subbab sesuai dengan masa perkembangan peradilan agama tersebut. A. Masa Prapemerintahan Hindia Belanda Masa ini dimulai sejak masuknya agama Islam di nusantara tentang perkiraan kapan masuknya agama Islam di Nusantara ini terdapat berbagai pendapat. Namun demikian, tegasnya setelah memluk agama Islam, masayarakat muslim di nusantara telah memulai mengatur dirinya sendiri dengan mempergunakan hukum Islam. Dalam pelaksanaan hukum Islam ini telah dapat dirasakan adanya manfaat dilaksanakannya hukum acara pradilan agama, walaupun belum terdapat aturan tertulis mengenai yuridisformal proses beracaranya. Praktek plaksanaan hukum acara pada saat itu masih sangat sedrhana, yang pada perkembangannya dikenal pada pembentukkannya dalam tiga priode yaitu : 1. Tahkim kepada Muhkam Ketika pemeluk agama Islam masih sedikit, wujud pradilan agama belum seperti sekarang ini, dimana ketika terjadi perselisihan atau sengketa diantara anutan masyarakat diselesaikan dengan cara bertahkim kepada guru yang di anggap mampu dan berilmu agama dan orang yang bertindak sebagai hakim disebut muhkam. 2. Masa Ahlul Hilli wal Akhdi Ketika penganut agama Islam telah terorganisir dalam kelompok masyarakat yang teratur, jabatan hakim atau khodi dilakukan secara pemilihan dan bai’at oleh ahlul hilli wal akhdi yaitu pengangkatan seseorang yang dipercaya oleh majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyrakat sebagai ahli. 3. Masa Tauliyah Ketika kelompok masyarakat Islam berkembang menjadi kerajaan Islam, pengangkatan jabatan hakim atau Khadi dilakukan dengan pemberian tauliyah, yaitu pengembalian atau pendelegasian kekuasaan dari penguasa. Macam- mcam sebutan atau nama pada masa itu antara lain. a. Di Aceh dengan nama Mahkamah Syariah Jaumpa b. Di Sumatra Utara dengan nama Mahkamah Majelis Syara c. Di Bima (NTB) dengan nama Badan Hukum Syara d. Di Kerajaan Mataram Pengadilan Syuramdi, disebut demikian karena tempat mengadili mengutus perkara adalah di syurambi masjid. Dalam melaksanakan tugasnya para hakim agama mempergunakan Al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab fiqih Islam. Noto Susanto dalam bukunya Organisasi dan Yurisprudensi pengadilan Agama di Indonesia memberikan kreteria terhadap orang-orang Islam yang harus diadili oleh pengadilan agama yaitu: a. Apabila orang itu secara lahiriah berkumpul dan hidup bersama orang Islam, tinggal di daerah orang Islam dan bergaul dengan orang Islam, maka orang itu adalah orang Islam. b. Orang Islam yaitu, orang yang mengucapkan syahadatain. c. Dianggap orang Islam apabila ia mengakui rukun iman. d. Dia wajib melaksanakan syariat Islam yang berupa shalat lima waktu, puasa Ramadhan dan berzakat jika hartanya cukup satu nisab dan menunaikan ibadah haji bila mampu . B. Periode Transisi Pada tanggal 4 Maret 1620 dikeluarkan instruksi di daerah yang dikuasai kompeni untuk diberlakukan hukum sipil Belanda antara lain dalam soal kewarisan. Berlakunya hukum perdata Islam diakui oleh VOC tanggal 25 Mei 1760 yaitu berupa suatu kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum Islam untuk dipergunakan pada pengadilan VOC dan dipakai di daerah-daerah lain yaitu cerebon, Semarang dan Makasar. C. Masa Pemerintahan Hindia Belanda I Pada tahun 1854 pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan politik yang dituangkan dalam “Reglement op het beleid der Regeerings van Nederlandsch Indie” disingkat menjadi “Regeerings reglement” yang menegaskan berlakunya undang-undang atau hukum Islam bagi orang Islam Indonesia. D. Masa Pemerintahan Hindia Belanda II Masa itu perubahan-perubahan mengenai pasal-pasal Regeerings reglement. Pada tahun 1992 Regeerings reglement diubah namanya menjadi Wet op the staats inrichting van nederlands indie dan masih banyak hal-hal lain berkenaan dengan lembaga peradilan agama yang di ubah pada masa ini. E. Masa Penjajahan Jepang Pada masa pemerintahan Jepang ini lembaga peradilan Belanda yang sudah ada pada masa penjajahan Belanda, tetap berdiri dan dibiarkan pada bentuknya semula. Perubahan yang dilakukan terhadap lembaga ini, hanyalah dengan memberikan atau mengubah nama saja yaitu sooryoo hooin untuk pengadilan agama dan kaikyoo kootoo hooin untuk Mahkamah Islam tinggi (pengadilan tinggi agama) . F. Masa Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia 1. 1945-1957 Di dalam pasal 24 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan kehakiman menurut undang-undang Kekuasaan kehakiman itu dilakukan dengan suatu kekuasan yang merdeka dan terlepas dari pengaruh dan turut campurnya kekuasaan pemerintahan (penjelasan pasal 24 ayat 2 UUD 1945). Bagi peradilan agama sebagai salah satu lingkungan peradilan yang dimaksud oleh penelitian badan kehakiman dalam pasal 24 ayat 1 UUD 1945 itu belum pernah diatur dengan suatu undang-undang tersendiri. Pada tahun 1948 pernah dikeluarkan undang-undang No.19 tahun 1948 tentang susunan dan kekuasaan badan kehakiman yang bermaksud menyusun peradilan secara integral akan tetapi undang-undang ini tidak pernah dinyatakan berlaku. 2. 1957-1974 Sebelum lahirnya undang-undang No.14 tahun 1970 terdapat rectvacuum mengenai wewenang tingkat kasasi di lingkungan peradilan agama. Oleh karena itu, menteri agama RI mengeluarkan surat keputusan No.10 tahun 1963 yang memberi wewenang dan kewajiban kepada jawatan Peradilan Agama (sekarang derektorat pembinaan badan Peradilan Agama) untuk melaksanakan tugas Peradilan Agama di tingkat kasasi. Setelah berlaku UU No.14 tahun 1970, surat keputusan Menteri Agama tersebut dicabut dengan SK Menteri Agama No.28 tahun 1972. Dalam undang-undang No.14 tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman ditegaskan: a. Prinsip peradilan dilakukan “Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa” (pasal 4 ayat 1) proses peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 4 ayat 2) b. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: • Pengadilan Umum • Pengadilan Agama • Pengadilan Tata Usaha Negara (pasal 10 ayat 1) c. Kasasi berada ditangan Mahkamah Agung untuk semua lingkungan Peradilan Negara, (pasal 10 ayat 2,3 dan 4) d. Badan-badan peradilan tetap berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen (pasal 11 ayat 1) e. Susunan kekuasaan dan acara dari badan-badan peradilan tersebut diatur dalam undang-undang tersendiri (pasal 12). Pada masa itu pemerintah sedang menyusun undang-undang perkawinan, yang ditetapkan berdasarkan undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. 3. 1974-1989 Dengan adanya ketentuan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa, perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan pasal 63 yang menunjuk lembaga peradilan agama sebagai penyelesai sengketa perkawinan diantara orang Islam . pada satu sisi menunjukkan kedudukan Peradilan Agama semakin kuat dan kokoh. Namun pada periode ini masih terdapat kekurangan, yaitu masih diperlukan adanya pengukuhan putusan Peradilan Agama oleh Peradilan Negeri. Dengan keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980, nama Peradilan Agama yang berbeda-beda untuk seluruh Indonesia, diseragamkan dengan sebutan Pengadilan Agama untuk tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding di seluruh Indonesia. Pada tahun 1985 dikeluarkan UU No. 14 tahun1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam pasal 1 ditetapkan bahwa, Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara sebagai mana dimaksud dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.III MPR/1978. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. 4. Tahun 1989-1999 Setelah belakunya UU No. 7 tahun 1989, dikeluarkan tiga peraturan yaitu: a. Surat edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990, tanggal 12 Maret 1990 tentang petunjuk pembuatan penetapan sesuai pasal 84 ayat 4 UU No. 7 Tahun 1989 b. Surat edaran Menteri Agama No. 2 tahun 1990 tentang petunjuk pelaksanaan UU No. 7 tahun 1989 c. Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang penyebar luasan Kompilasi Hukum Islam . BAB III KESIMPULAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar