Selasa, 26 April 2011

Al-Mashlahatul-Mursalah.

Al-Mashlahatul-Mursalah.



















BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang.

Pembentukan hukum berdasarkan Al-Mashlahatul-Mursalah semata-mata dimaksudkan untuk mencari kemaslahatan manusia. Maksudnya, didalam rangka mencari yang menguntungkan, dan menghindari kemudharatan manusia yang bersifat sangat luas.

B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang kami bahas dalam makalah ini adalah:
1. Definisi Al-Mashlahatul-Mursalah.
2. Dalil-dalil Ulama Yang memakai Al-Maslahah Al-Mursalah.
3. Beberpa Contoh Maslahah Mursalah.
4. Syarat-Syarat Untuk Bisa Dipakai Hujjah

BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi Al-Mashlahatul-Mursalah.

Al-Mashlahatul-Mursalah (Maslahah mursalah) ialah yang mutlak. Menurut istilah ahli Ushul, maslahah mursalah diartikan kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syar’i dalam wujud hukum dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak ada dalil yang membenarkan atau yang menyalahkan. Karenanya maslahah mursalah itu disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang mnyatakan benar atau salah.
Misalnya, kemaslahatan yang diambil para sahabat dalam mensyariatkan adanya penjara (bui), dicetaknya mata uang, dan masih banyak hal lagi yang diadakan berdasarkan kebutuhan, keadaan dan kebaikan yang belum ada syariat hukumnya, disamping tidak adanya hukum syara’ yang membenarkan atau menyalahkan.
Berdasar pada pengertian tersebut, pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari kemaslahatan manusia. Maksudnya, didalam rangka mencari yang menguntungkan, dan menghindari kemudharatan manusia yang bersifat sangat luas. Maslahat ini merupakan sesuatu yang berkembang berdasarkan perkembangan yang selalu ada disetiap lingkungan. Mengenai pembentukan hukum ini, kadang-kadang tampak menguntungkan pada suatu saat, tetapi pada suatu saat yang lain justru mendatangkan mudharat . begitu pula pada suatu lingkungan tertentu mnguntunkan, tetapi mudharat bagi lingkungan lain. Kemudian, mengenai maslahah yang dituntut oleh keadaan dan lingkungan baru setelah berhentinya wahyu, sementara syari’ belum mensyariatkan maslahah-maslahah yang dikehendaki berdasar tuntutan itu, disamping juga tidak terdapat dalil syara’ yang mengakui atau menyalahkan maslahah-naslahah itu, biasa disebut sebagai Al-Munasibul-Mursal atau Al-Maslahatul-mursalah. Misalnya, maslahah tentang kehendak adanya pernikahan tanpa pengakuan secara resmi, dengan demikian pengingkaran terhadap perkawinan itu tidak dapat diterima. Contoh lain, yaitu adanya transakai jual beli yang tak tercatat, tidak bisa dipakai dasar pemindahan hak berdasar maslahah. Conroh-contoh tersebut, hukumnya tidak disyariatkan oleh syari’,dan tidak terdapat dalil-dalil yang memberikan I’tibar atu pembatalan terhadap maslahah-maslahah itu, itulah yang disebut sebagai AlMslahatul-Mursalah .

2. Dalil-dalil Ulama Yang memakai Al-Maslahah Al-Mursalah.
Jumhur Ulama mengajukan pendapat bahwa maslahah mursalah merupakan hujjah syariat yang dijadikan metode pembentukan hukum mengenai kejadian atau masalah yang hukumnya tidak ada dalam nash, ijma’, qiyas, atau ihtisan, maka disyariatkan dengan menggunakan maslahah mursalah.
Dalil yang dipakai ualma tersebut ialah:
a. kemaslahatan umat manusia secara lestari, sifatnya selalu aktual. Karena itu, jika tidak ada syariat hukum yang berdasarkan masalah mursalah yang berkenaan dengan masalah baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan, maka pembentukan hukum akan terkunci berdasar maslahah yang mendapatkan pengakuan syari’. Dengan demikian, kemaslahatan yang dibutuhkan umat manusia disetiap masa dan tempat menjadi terabaikan. Berarti pembentukan hukum tidak mengikuti atau tidak melihat perkembangan kemaslahatan umat manusia. Hal ini tidak cocok dan tidak sesuai dengan maksud syariat yang selalu ingin mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.
b. Orang-orang yang menyelidiki pembentukan hukum yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in dan para mujtahid, akan tampak bahwa mereka telah mensyariatkan aneka ragam hukum dalam mencari kemaslahatan dan bukan lantaran adanya pengakuan sebagai saksi. Misalnya, Abu Bakar melakukan pengumpulan lembaran-lembaran tulisan Al-Quran yang berserakan, memerangi pembngkang pembayaran zakat, dan mengusulkan pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah pengganti Abu Bakar. Umar juga demikian, ia mengucapkan telak tiga walau dengan ucapan kalimat satu kali. Umar juga menghentikan pembagian zakat lepada kaum mu’allaf, menetapkan pembayaran pajak, mengadakan tertib administrasi, pembangunan rumah-rumah tahanan dan menghapuskan hukuman penggal tangan bagi pencuri ketika musim paceklik. Sedangkan yang dilakukan Utsman ialah, mempersatukan umat islam dengan satu mushaf dan membakar seluruh mushaf lainnya, disamping menyebarkan mushaf yang satu itu ke berbagai Negara, serta menetapkan penerimaan harta waris bagi istri yang ditelak lantran maksud menghindari jatuhnya harta waris kepadanya. Ali bahkan pernah membakar para penghianat dari kaum Syi’ah-Rafidhah. Ulama Hanafiah melarang seorang Mufti yang bercanda, melarang praktik tatib yang tidak mampu, dan melarang orang kaya yang sedang susah dalam mengelola hartanya. Kaum Malikiah memperkenankan penahanan terhadap orang yang dituduh bersalah, disamping memberi hukum agar ia mengakui kesalahannya. Ulama Syafi’iyah menjatuhkan hukuman qishash bagi gerombolan yang membunuh satu orang manusia.
Kemaslahatan yang menjadi tujuan pensyariatan hukum ini, disebut sebagai maslahah mursalah. Para Ulama mendasarkan pada maslahah dalam mensyariatkan hukum ini lantaran mengandung maslahah, disamping tidak adanya dalil syara’ yang menyalahkannya. Namun demikian, dalam pembentukan hukum itu, mereka tidak semata-mata memandang dari segi maslahah, tetapi lantaran adanya syara’ yang membenarkannya. Imam Al-Ghozali mengatakan, “Para sahabat telah melakukan berbagai hal dengan acuan segi maslahah mursalahnya, bukan karena adanya pengakuan atau pembuktian”. Ibnu Aqil juga mengatakan, “Siasah yaitu setiap tindakan yang mengantarkan manusia lebih dekat dengan kebaikan, dan menjauh dari mafsadah”. Walaupun Rasul tidak menetapkan, atau wahyu tidak ada yang turun berkenaan dengan hal-hal tertentu .

3. Beberpa Contoh Maslahah Mursalah.
Banyak sekali hukum peraturan yang ditetapkan dengan pertimbangan maslahat, walaupun didalam nash tidak diatur secara tegas, yang berlaku di Indonesia ntara lain:
- Kompilasi hukum Islam, yang belaku pada Pengadilan Agama di Indonesia menetapkan adanya harta gunu-gini (perpantangan) dalam sebuah keluarga antara suami dan isteri, sehingga siapapun yang meninggal lebih dahulu (suami atau istri), maka harta yang dimiliki sebagai gunu-gini dibagi dua terlebih dahulu, satu bagian untuk yang belum meninggal (suami atau isteri), yang sebagian hartanya lagi dijadikan warisan. Hal ini ditetapkan demi kemaslahatan.
- Pemerintah memandang sah apabila pernikahan dilakukan melalui KUA dan memiliki surat nikah dari KUA, sebaliknya memandang tidak sah kalau dilakukan secara sirri. Hal ini ditetapkan untuk kemaslahatan.
- Majelis Ulama Indonesia mengharamkan kawin beda agama, begitu juga KUA tidak bisa menikahkan bagi umat islam yang kawin dengan orang non muslim. Ini ditetapkan juga mempertimbangkan maslahat .

4. Syarat-Syarat Untuk Bisa Dipakai Hujjah.

Ulama Malikiyah dam Hanabilah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqih yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam syathibi mengatakan bahwa keberadan dan kualitas maslahah mursalah itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni (relatif).
Misalnya Rasulallah saw. Bersabda:

غَلاَََََ السِّعْرُ فِى المَدِيْنَةِ عَلى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فََقَالَ النَّاسُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ غَلا السِّعْرُ فَسَعِّرْ لَنَا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ اللهَ هُوَ المُسَعِّرُ القَابِِِضُ الرَّازِقُ اِنِّى لارْجُوْ اَنْ اُلْقِيَ اللهَ وَلَيْسَ اَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلا مَالٍ۰
Dari Annas ibn Malik ra. dia berkata bahwa telah melonjak harga di (pasar) Madinah pada masa Rasulullah saw. Masyarakat ketika itu berkata kepada Rasulullah saw. “Ya Rasulallah, harga telah naik, maka tentukanlah itu bagi kami”. Rasulullah saw. menjawab, “Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga itu, ia yang menguasai, melapangkan dan memberi rezeki , saya tidak berharap ketika menemui Allah (Berbuat Zalim), dan tidak ada satu orangpun dari kalian yang dapat menuntut saya membuat kezaliman dalam masalah jiwa dan harta.” (H.R. Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Timrizi, Ibn Majah, dan Ibn Hibban).
Ulama Malikiyah dan hanabilah mengataka bahwa hadits rasulullah tersebut berlaku apabila komoditi sedikit sedangkan permintaan meningkat, sehingga kenaikan harga adalah wajar. Akan tetapi, apabila kenaikan harga barang itu bukan karena sedikitnya komoditi, tetapi oleh ulah para pedagang sendiri, maka ulama Malikiyah dan Hanabilah membolehkan pihak pemerintah campur tangan dalam menetapkan harga, dengan pertimbangan untuk kemaslahtan para konsumen.
Untuk bisa menjadilan Al-maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama malikiyah dan hanabilah mensyaratkn tiga syarat, yaitu:
1. Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termauk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.
2. Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan maslahah mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.
3. Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqihnya membahas permasalahan Maslahah Al-Mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan Al-Ghazali terhadap permasalahan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistimbatkan hukum, yaitu:
1. Maslahah itu sejenis dengan tindakan-tindakan syara’.
2. Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’.
3. Maslahah itu termasuk kedalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang .
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Maslahah Mursalah merupakan hujjah syariat yang dijadikan metode pembentukan hukum mengenai kejadian atau masalah yang hukumnya tidak ada dalam Nash, Ijma’, Qiyas, atau Ihtisan, maka disyariatkan dengan menggunakan Maslahah Mursalah.
Dengan adanya Mashlahah Mursalah, hukum yang ada di dalam Islam dapat terus berkembang dan tidak terkunci. Hal ini mempermudah umat manusia untuk menjalani hidup dengan baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

KhallaF, Abdul Wahhab, 1968, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press.
Hayat, Abdul, 2006, Ilmu Ushul Fiqih Dasar-dasar Memahami Fiqh Islam, Bajarmasin.
Harun, Nasrun, 1996, Ushul Fiqh ,ciputat: P.T. Logos Wacana Ilmu.

1 komentar: