Senin, 25 April 2011

makalah bid'ah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid’ah dan kesesatan. Maka barang siapa yang berpaling dari Al-Qur’an dan Sunnah pasti akan terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid’ah. Bid’ah adalah suatu kebodohan terhadap hukum-hukum Ad-Dien, semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar risalah Islam, semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam :
Artinya: Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada (tersisa) seorangpun ulamapun, maka manusia mangangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnya sesat dan menyesatkan.
Bid’ah juga sesuatu yang berpaling dari Al-qur’an dan Sunnah dan mengikuti hawa nafsu, firman Allah dalam surah Al-Jatsiyah : 23 yang berbunyi :
                         
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai illahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengarannya dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)”.
Dan bid’ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata dari hawa nafsu yang diikuti. Ashabiyah terhadap pendapat tertentu yaitu dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq. Inilah keadaan orang-orang saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila meraka diajak untuk mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Qur’an dan Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka. Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid’ah yakni orang-orang yang menyerupai orang-orang kafir. Hal-hal inilah yang menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid’ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau minggu untuk amalan tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, mengadakan perkumpulan hari suka dan duka dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Bid’ah ?
2. Mengapa Bid’ah itu dikatakan sesat ?




















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Bid’ah diambil dari kata bida’ yaitu al ikhtira atau mengadakan sesuatu tanpa adanya contoh sebelumnya atau sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallhu’alaihi wa sallam, tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang. Nabi menilainya sebagai kesesatan dalam agama. Hukum bid’ah adalah haram. Perbuatan yang dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah) yaitu ibadah yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya. Firman Allah:
   
Artinya: “Allah yang membid’ahkan (langit dan bumi)....”. (Q.S.Al-Baqarah: 117).
Yakni yang mengadakan atau menciptakannya dengan rupa bentuk yang belum ada contoh yang mendahuluinya, yang seindahnya.
Dalam kitab Shahih Muslim bi Sarah Imam Nawawi dijelaskan “Dan yang dimaksud bid’ah, menurut ahli bahasa, dia ialah segala sesuatu amalan tanpa contoh terlebih dahulu”. Sedangkan jika ditujukan dalam hal ibadah pengertian bid’ah yakni “Suatu jalan yang diada-adakan dalam agama yang dimaksudkan untuk bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ umat terdahulu”.
Bid’ah adalah kebalikan dari sunnah dan bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma umat terdahulu, baik keyakinannya atau peribadahannya atau ia bermakna lebih umum yaitu apa-apa yang tidak di syariatkan oleh Allah maka yang demikian itu adalah bid’ah. Bid’ah dalam syari’ah adalah apa yang diada-adakan yang tidak ada perintah Rasul Shallallahu’alaihi wa sallam. Membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikuti, sesuatu pekerjaan yang sebelumnya belum pernah dikerjakan, itu disebut bid’ah. Terlebih lagi suatu perkara yang disandarkan pada urusan ibadah (agama) tanpa adanya dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada contohnya (tidak ditemukan perkara tersebut) pada zaman Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam.
Secara umum bid’ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama atau ibadah. Maka inilah makna bid’ah yang sesungguhnya. Bid’ah dalam agama memecah belah dan menghancurkan persatuan umat. Bid’ah dalam agama juga mematikan sunnah. Pembuat dan pelaku bid’ah mengangkat dirinya sebagai pembuat syariat baru dan sekutu bagi Allah. Pembuat bid’ah memandang agama tidak lengkap dan bertujuan melengkapinya.
Setelah mengetahui bahwa begitu bahayanya bid’ah tersebut maka seharusnyalah kita menghindari dari hal tersebut diatas. Maka dari itu tetaplah berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma sahabat. Firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 153:
•    •               
Artinya: Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (lainnya). Sebab jalan-jalan itu akan mencerai beraikan kau dari jalan-nya. Demikianlah Allah berwasiat kepada kamu agar kamu bertaqwa.
B. Pendapat Para Ulama
Para ulama salaf memberikan beberapa definisi bid’ah. Definisi-definisi ini memiliki lafadz-lafadz berbeda-beda namun sebenarnya memiliki kandungan makna yang sama.
Menurut al-Hawari, bid’ah adalah pendapat pikiran yang tidak ada padanya dari kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya yakni tidak diperintahkan dengan perintah wajib atau perintah sunnah.
Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah satu cara di dalam agama yang diada-adakan (baru) menyerupai agama dan dimaksudkan dalam melakukannya untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Ibnu Hajar al As-Qalani dalam Fathul Bari menjelaskan “setiap bid’ah adalah sesat”yakni apa yang diadakan tanpa dalil padanya dari syariat baik dengan jalan khusus maupun jalan umum.
Menurut Ibnu Rajab yang dimaksudkan dengan bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada dasarnya di dalam syariat. Menurut As-Suyuti, bid’ah adalah suatu ungkapan tentang perbuatan yang bertentangan dengan syariat karena menyelisihi perbuatan yang menjadikannya adanya pengurangan dan penambahan syariat.
Ulama sepakat bahwa dari beberapa pengertian bid’ah tersebut diatas yang paling mengena pada maksud bid’ah yang dapat dikatakan sesat adalah yang diartikan oleh Imam Syathibi. Dari definisi-definisi tersebut dapat diambil pokok-pokok pengertian bid’ah sebagai berikut:
a. Bid’ah adalah sesuatu yang diadakan di dalam agama. Maka tidak termasuk bid’ah sesuatu yang diadakan di luar agama untuk kemaslahatan dunia, seperti pengadaan hasil-hasil industry dan alat-alat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi.
b. Bid’ah tidak memiliki dasar yang menunjukkan dalam syariat. Adapun hal-hal yang memiliki dasar-dasar syariat, maka bukan bid’ah meskipun tidak ada dalilnya dalam syariat secara khusus. Contohnya pada zaman sekarang orang membuat alat-alat, seperti pesawat, roket, tank, dan alin sebagainya, dari alat-alat perang modern dengan tujuan persiapan memerangi orang-orang kafir dan membela kaum muslimin. Maka perbuatannya bukan bid’ah meskipun syariat tidak menjelaskannya secara rinci, dan Rasulullah tidak menggunakan alat-alat tersebut untuk memerangi orang-orang kafir. Tetapi membuatnya termasuk dalam firman Allah secara umum,
  •   
Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja”.(Al-Anfal:60).
Maka setiap sesuatu yang memiliki dasar dalam syara’, ia termasuk syariat dan bukanlah bid’ah.
c. Bid’ah di dalam agama kadang dikurangi dan kadang ditambah, sebagaimana dijelaskan As-Suyuti meskipun perlu pembatasan bahwa sebab menguranginya adalah agar lebih mantap dalam beragama. Adapun jika sebab menguranginya bukan agar lebih mantap dalam beragama, maka bukanlah bid’ah. Seperti meninggalkan perintah yang wajib tanpa udzur. Itu disebut maksiat bukan bid’ah, begitu pula meninggalkan perkara sunnat tidak dianggap bid’ah.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka bid’ah itu hanya ada dalam hal agama atau ibadah, ini sesuai dengan sabda Raulullah Shallallahu’alaihi wa sallam:
مَنْ صَنَعَ اَمْرًا عَلَى غَيْرِ اَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ. (رواه احمد)
Artinya: “Siapa yang membuat hal baru dalam ajaran agama kami apa yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak”.
Dan dapat kita lihat keterkaitan antara hadits di atas dengan hadits di bawah yaitu mengenai niat dalam beribadah:
اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِا لنِّيَةِ
Artinya: Sesungguhnya segala amalan ibadah itu tergantung dari niat.
Jadi ulama sepakat bahwa ciri amal ibadah agar diterima oleh Allah adalah:
1. Meniatkan amal perbuatan semata demi Allah Subhanahu wa ta’ala dan ikhlas kepada-Nya.
2. Amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.
Oleh karenanya saat Imam Al-Fudhail yang beliau adalah gurunya Imam Asy-Syafi’i, dan beliau juga seorang faqih yang zhahid, ditanya tentang firman Allah:
…    …
”….Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya….” (Al-Mulk: 2).
Penanya: Amal apakah yang paling baik ? Beliau menjawab: yaitu amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar. Penanya: Wahai Abu Ali (Al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar itu ? Beliau menjawab: Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar maka amal itu tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Kemudian meskipun amal ibadah ibadah itu benar namun dikerjakan dengan tidak ikhlas juga tidak diterima oleh Allah. Amal ibadah baru diterima bila dikerjakan dengan ikhlas dan benar pula. Yang dimaksud dengan ikhlas adalah dikerjakan semata untuk Allah dan yang dimaksud dengan benar adalah dikerjakan sesuai dengan tuntunan sunnah.
Setelah hal tersebut diatas kemudian muncul lagi permasalahan baru yang disebut sebagai bid’ah hasanah. Sebenarnya bid’ah hasanah ini muncul ketika Umar r.a mendapati kaum muslimin melakukan shalat tarawih pada malam bulan Ramadhan dengan sendiri-sendiri dan ada yang berjama’ah hanya dengan beberapa orang saja dan ada yang berjama’ah dengan jumlah besar. Keadaan ini terus berlangsung hingga Amirul Mu’minin Umar r.a mengumpulkan mereka kepada satu Imam, lalu beliau berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih secara berjama’ah)”. Qiyamul lail merupakan sunnah Rasul, karena Rasul pernah melakukan qiyamul lail di bulan Ramadhan dengan para sahabat selama tiga malam berturut-turut kemudian beliau tidak melakukannya lagi pada malam berikutnya dan bersabda: “Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu lalu kamu tidak akan sanggup melaksanakannya”.
Ada beberapa orang-orang terdahulu yang mengatakan bid’ah itu ada dua bagian, ada bid’ah hasanah, ada bid’ah sayyi’ah. Bid’ah hasanah yaitu apa yang bersesuaian dengan sunnah itu bid’ah hasanah, seperti shalat berjama’ah pada bulan Ramadhan, qiyamul lail, dzikir bersama dll. Sedangkan bid’ah sayyi’ah yakni apa-apa yang bertentangan dengan sunnah, seperti yang sudah dipaparkan diatas tadi.
Namun, ada pula yang tidak sependapat dengan adanya dua bid’ah ini, mereka menganggap setiap bid’ah itu sesat, yang sesuai dengan sabda Nabi:
وَعَظَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلّم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا اْلقُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا اْلعُيُوْنُ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَاَوْصِنَا. قَالَ: اُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَاِنْ تَأَمَّرَعَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبْشِيُّ فَاِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ وَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ خُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ. عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. وَاِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَانِ اْلاُمُوْرِ فَأِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ.(رواه ابو داود والترمذى).
“Aku wasiatkan kepada kamu hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah dan dengarlah serta taatlah sekalipun kepada budak Habsyi, karena sesungguhnya orang hidup diantaramu sesudahku dikemudian hari maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka dari itu hendaklah kamu sekalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah khalifah yang mendapat petunjuk dan lurus, hendaklah kamu berpegang dengannya dan gigitlah dengan gigi gerahammu (berpegang teguh), dan jauhilah oleh kamu sekalian akan perkara yang diada-adakan, maka sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.
Demikianlah nasihat Nabi Shallallahu’alahi wa sallam dan pendapat para generasi terbaik dari umat ini mengenai bid’ah, maka selayaknya mereka itu semua dapat dijadikan panutan untuk kaum muslimin zaman sekarang. Hal ini mereka lakukan demi murninya ajaran Islam dan tidak dikotori oleh bid’ah yang menyesatkan. Ulama-ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam sesudahnya, telah kita lihat kebaikannya pada abad-abad kemuliaan, dan mereka telah bersepakat dalam mencela, memburukkan, menjauhi bid’ah dan pelakunya serta tidak ada keragu-raguan.
C. Pembagian Bid’ah
Bid’ah menurut golongan pertama (Ahli ushul), dan golongan kedua (Ahli fiqih):
1. Fi’liyah ialah membuat sesuatu perbuatan.
2. Tarkiyah ialah meninggalkan sesuatu perbuatan atau tuntunan agama, baik wajib maupun sunnat, dengan memandang bahwa meninggalkan itu, agama. Jika ditinggalkan lantaran malas, tidak dinamai bid’ah, hanya menyalhi suruh saja.
3. ‘Amaliyah yaitu bid’ah-bid’ah yang dikerjakan dengan anggota tubuh, dengan panca indra yang lima, luar dan dalam, seperti: mengerjakan sesuatu yang tidak dikerjakn Nabi.
4. I’tiqadiyah yakni memegang sesuatu kepercayaan (I’tiqad) yang berlawanan dengan yang diterima Rasul karena sesuatu kesamaran, seperti kepercayaan orang Syi’ah, wajib menyapu kaki, tak boleh menyapu sepatu, dan seperti I’tiqad kaum musyabbihah, yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk.
5. Zamaniyah adalah meletakkan di masa tertentu.
6. Makaniyah ialah meletakkan esesuatu ibadat di tempat tertentu.
7. Haliyah yaitu meletakkan sesuatu ibadat dalam keadaan yang tertentu.
Jelasnya meletakkan sesuatu ibadat di masa tertentu atau di tempat tertentu, atau dalam keadaan yang tertentu, missal: bid’ah yang terjadi dalam perayaan-perayaan hari-hari raya dan musim, perhalatan, dan seperti bid’ah-bid’ah yang terjadi di mesjid-mesjid, di tempat-tempat kematian, di kuburan dan seperti bid’ah yang terjadi dalam perjamuan dalam ibadat, dalam pergaulan dalam beberapa adat dan kepercayaan.
8. Haqiqiyah ialah sesuatu pekerjaan yang semata-mata bid’ah, tidak ada sedikit juga perpautannya dengan Syara’
9. Idlafiyah ialah sesuatu bid’ah yang terdapat padanya dua jihat. Apabila ditinjau dari jihat yang pertama, ia bukan bid’ah. Apabila ditinjau dari jihat kedua, nyatalah kebid’ahannya. Bid’ah yang serupa ini, dinamai bid’ah Idlafiyah (yakni dibid’ahkannya mengingat salah satu jihatnya). Tegasnya, apabila dilihat kepada asal hukumnya, sunnah. Tetapi apabila dilihat kepada kaifiyatnya, kepada kelakuan melaksanakannya, bid’ah.
10. Kulliyah yaitu yang mendatangkan kecederaan umum, seperti mengingkari hadits-hadits Nabi lantaran mencukupi dangan Al-Qur’an saja.
11. Juz-iyah yaitu yang merusakkan sesuatu pekerjaan saja, seperti bid’ah mencederakan adzan, berdiri sebelah kaki dalam sembahyang.
12. ‘Ibadiyah ialah yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yakni yang dijadikan ibadat.
13. ‘Adiyah yaitu yang dikerjakan bukan dengan maksud ibadah.
Pembagian khas
Pembagian ini dilakukan oleh Al Imam Al ‘Izz ibn Abdis Salam dan kemudian diteruskan oleh Al Qalafy. Mula-mula mereka membagi kepada dua bagian:
a) Bid’ah Hasanah
b) Bid’ah Qabihah
Bid’ah hasanah mereka membaginya kepada: wajibah, mandubah, dan mubahah. Dan bid’ah Qabihah, mereka membaginya kepada: muharramah dan makruhah.
Bid’ah wajibah, menurut segolongan para fuqaha, ialah pekerjaan yang masuk kepada qaedah wajib dan masuk kedalam dalil agama. Seperti mengumpulkan Al-Qur’an dan membukukannya dalam mushaf.
Bid’ah mandubah ialah pekerjaan yang diujudkan oleh qaedah-qaedah nadab (sunnat) dan dalil-dalilnya, seperti mengerjakan tarawih berjamaah setiap malam bulan puasa, diimami oleh seorang imam yang tertentu.
Bid’ah mubahah ialah pekerjaan yang diterima oleh dalil, seperti makan di atas meja dan seumpamanya.
Bid’ah muharramah ialah pekerjaan yang massuk kedalam qaedah-qaedah haram dan dalil haram.
Bid’ah makruhah ialah pekerjaan-pekerjaan yang masuk ke dalam qaedah-qaedah makruh dan dalil-dalil makruhah.
Pembagian tersebut dibantah keras oleh Asy Syathiby. Menurut Asy Syathiby, contoh-contoh yang didatangkan untuk bid’ah wajibah, adalah pekerjaan yang dikehendaki maslahat mursalah. Karenanya bukan bid’ah. Contoh-contoh bid’ah mandubah, menurut Asy Syathiby, memang sunnat. Contoh-contoh bid’ah mubahah, dapat didasarkan kepada perbuatan-perbuatan Nabi. Conoth bid’ah makruhah, diterimanya, dan contoh-contoh bid’ah muharramah, menurutnya memang haram.
Pendapat Al ‘Izz ibn Abdis Salam yang dituruti Al Qarafy dan beberapa ulama terkenal, seperti Az Zarkasyi tak dapat ditolak mentah-mentah. Juga pendapat Asy Syathiby yang diikuti juga beberapa ahli sunnah, seperti Asy Syaukany, tak dapat ditolak bulat-bulat.
Sesudah kita pelajari apa yang dikatakan Al Qarafy dan apa yang dikatakan Asy Syathiby, nyatalah bahwa beliau-beliau itu hanya berselisih pada member nama pekerjaan bukan pada menetapkan hukum pekerjaan. Mengumpulkan Al-Qur’an, menurut Al Qarafy adalah bid’ah wajibah, tapi perlu dilaksanakan. Menurut Asy Syathiby, maslahat mursalah, perlunjuga dikerjakan.
Hanya yang kita sesali ialah sikap kebanyakan Mutafaqqihin sekarang, yang apabila kita bid’ahkan sesuatu pekerjaannya, mereka langsung berprisai dengan “bid’ah itu terbagi” dan perbuatanku ini bid’ah hasanah!
Hanya di sini perlu ditegaskan bahwa: “Sesuatu ibadat yang tiada dikerjakan Nabi dan tidak termasuk ke dalam qaedah agama, baik oleh yang membagi bid’ah kepada lima, maupun oleh yang tidak membaginya kepada lima, menetapkan ketiadaan bolehnya kita beribadat yang semacam itu.” Membagi bid’ah kepada lima ataupun sepuluh, tidak dapat dijadikan alasan untuk membaguskan pekerjaan yang dikerjakan sebagai ibadat, jika tidak mempunyai dalil-dalil yang menunjuk kepada tersuruhnya.
D. Pemahaman Para Ulama Terhadap Hadits “Kullu Bid’atin Dhalalah”
Golongan yang menta’rifkan bid’ah dengan ta’rif Asy Sythiby dan Asy Syamany, berpendapat: yang diada-adakan disini, tertentu dengan kejadian-kejadian yang tercela saja yang menyalahi kitab dan sunnah, atau dijadikan yang diada-adakan itu, sebagai sunnah yang diterima dari Nabi sendiri. Mereka menetapkan hadits ini atas keumumannya.
Golongan yang menta’rifkan bid’ah dengan ta’rif Al ‘Izz yakni yang diada-adakan sesudah Nabi, walaupun baik, ibadat atau adat, mentakhsiskan umum hadits ini dengan mengatakan bahwa bid’ah yang dipandang sesat hanyalah bid’ah yang tercela yang tidak mendapat kebenaran dari Rasul, tidak masuk ke dalam Syara’. Adapun kejadian yang diada-adakan sesudah Nabi, tapi ada asal atau pokoknya dari Syara’, maka bid’ah yang semacam ini, keluarlah dari umum bid’ah.
Syubhat pertama: Sembahyang tarawih dan sembahyang malam di bulan Ramadhan. Golongan pemangku bid’ah mengatakan: betapa tuan-tuan mencela-cela segala bid’ah, padahal kita dapati orang-orang salaf mengerjakan pekerjaan yang tidak dikerjakan Nabi, seperti: sembahyang tarawih dengan diimami oleh seorang imam tertentu. Menjamaahkan sembahyang tarawih telah di ijma’kan oleh segenap umat Islam. Tuan-tuan mengatakan Segala bid’ah sesat, padahal menjamaahkan tarawih, bukan kesesatan.
Menjamaahkan tarawih bukan suatu bid’ah, bukan suatu pekerjaan yang tiada dikerjakan Nabi. Menjamaahkan tarawih, suatu sunnah, Nabi pernah mengerjakannya, diikuti para sahabat, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud dan At Turmudzy dalam dalam satu hadits yang hasan shahih. Akan tetapi, karena Rasul takut dijadikan fardhu atas para umat, beliau tiada meneruskan pekerjaan menjamaahkan tarawih itu.
Dengan demikian, menjadilah pengertian bid’ah dalam perkataan ‘Umar: “Sebaik-baik bid’ah adalah jamaah tarawih”, bid’ah lughawiyah, sebagaimana yang telah ditegaskan juga oleh Ibnu Hajar Al Haitamy. Dinamakannya bid’ah, adalah dengan pandangan bahwa perbuatan itu tidak dilazimi Nabi, tidak dibangun dimasa Abu Bakar. Dizaman ‘Umar baru digerakkan dengan secara resmi.
Syubhat kedua: Adzan ‘Ustman, kata pemangku bid’ah: di masa Rasul, adzan hari jum’at hanya dilaksanakan sekali saja, diucapkan dipintu mesjid, muadzin berdiri bertentangan dengan tempat khatib duduk. Keadaan ini berjalan terus di masa Abu Bakar dan ‘Umar. Setelah kendali pemerintahan dipegang khalifah ‘Utsman, barulah beliau menyuruh orang melaksanakan sekali lagi adzan pada hari jum’at diucapkan di atas Zauraa. Sebenarnya begini adzan ‘Utsman tiada keluar dari syara’ yaitu memberitahukan sembahyang. Beliau menyuruh orang membaca adzan di atas Zauraa sebelum adzan yang telah ditetapkan Nabi, yaitu yang dibaca dikala khatib telah naik ke mimbar, dipintu mesjid, bertentangan berdiri muadzin dengan tempat duduk khatib, adalah dengan maksud menarik perhatian penduduk pasar yang telah sangat ramai dimasanya, untuk pergi ke mesjid. Beliau tidak menambah barang sesuatu lafadz adzan dan bukan pula adzan itu untuk sesuatu maksud yang tidak dimaksudkan syara’, karenanya tiadalah, dapat kita pandang penambahan yang diadakan ‘Utsman itu, bid’ah yang sesat. Jadi, ‘Utsman menambah satu adzan itu, adalah dengan maksud mengingatkan penduduk pasar dan menarik perhatian mereka kepada menyegerakan datang ke mesjid, dengan tidak memandangnya suatu ibadat yang ditambah.
Syubhat ketiga ialah mafhum yang didapati dari memahami hadits:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ اَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَيَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْأً. وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَيَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ اَوْزَارِهِمْ شَيْأً. (رواه مسلم).
“Barang siapa membuat suatu sunnah yang baik, ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya dengan tidak dikurangi pahala yang diberikan kepada yang mengerjakan sendiri. Barang siapa membuat sunnah yang buruk, ditimpakanlah atas dirinya dosa bid’ahnya dan dosa bid’ahnya itu, sedikitpun tiada dikurangi”. (H.R.Muslim).
Hadits ini menyandarkan sunnah kepada kita mukallaf sendiri. Difahamkan dari perkataan “barang siapa membuat sesuatu sunnah”, dibolehkan kita membuat-buat sesuatu sunnah baru. Sekiranya dimaksud hanya mengerjakan telah ditetapkan Syara’, tentulah dikatakan: “barang siapa menghidupkan, atau barang siapa mengamalkan".
Syubhat ini dijawab Asy Syathiby dengan dua jawaban, pertama: Dikehendaki dengan membuat sunnahdi sini, bukan mengada-adakan, atau mengikhtira’kannya, hanya menghidupakn atau mengamalkan. Ma’na ini ditunjuk oleh sebab wurud (datang)nya hadits sendiri. Yang kedua: Dikehendaki membuat sunnah di sini ialah membuatnya dalam urusan keduniaan, dengan syarat tiada terbentur dengan pokok Agama dan maksu-maksudnya.
Syubhat yang keempat: mafhum yang difahamkan dari hadits:
مَا رَآهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
“Sesuatu yang dipandang baik oleh orang Islam, dipandang baik pula oleh Allah”.
Lahir perkataan ini ialah sesuatu yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, Allah memandangnya baik juga. Tegasnya, manusia dapat memandang baik sesuatu, dapat memandang buruk sesuatu dengan tudak berdasar Syara’. Syubaht ini dijawab dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Hadits ini bukan hadits yang marfu’ yang diterima dari Nabi, hanya paling baik ia dipandang satu atsar yang diterima dari Ibnu Mas’ud. Dengan demikian tidak dapat dijadikan hujjahh.
b. Jika kita terima juga hadits ini, maka ma’nanya ialah: “segala yang disepakati oelh ahli ijma’ dari urusan-urusan yang diserahkan kepada mereka, itulah yang dipandang baiknya oleh Allah”.
Jadi, hadits ini memaksudkan putusan ijma’ (kata bulat dari ahli ijma’), dalam soal-soal yang tak ada padanya nash Al-Qur’an dan nash hadits, tidak berlawanan pula dengan sesuatu qaedah yang lengkap.
BAB III
KESIMPULAN

Bid’ah merupakan sesuatu yang dianggap baru dan tidak ada contoh sebelumya atau dalam syariah ialah sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam. Perbuatan yang dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadahan. Bid’ah adalah kebalikan dari sunnah dan bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma umat terdahulu, baik keyakinannya maupun peribadahannya. Dan segala sesatu yang tidak disyariatkan oleh Allah maka yang demikian adalah bid’ah.
Bid’ah dikatakan sesat dikarenakan dalam pengertiannya menjelaskan bahwa bid’ah ialah suatu perbuatan penambahan atau pengurangan dalam peribadahan yang tidak ada contoh, syariat, rukun, dan perintah terlebih dahulu. Dan juga dengan adanya bid’ah umat semakin terpecah belah satu sama lain karena masing-masing mempunyai bid’ah-bid’ah yang mereka yakini kebenarannya. Juga sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam, yang artinya: “ Setiap bid’ah itu sesat”.














DAFTAR PUSTAKA

Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Rajawali Pers. Jakarta. 2001
Said Al-Khin, Mustofa. Larangan Berbuat Bid’ah, jilid I. Musasah
Ar-Risalah Dirut. Jakarta. 2005
Shalih Al-Munajid, M. Sunnah dan Bid’ah Tahunan. Aquam. Jakarta. 2009
Thalib M. 25 Ciri Zaman Edan dan 20 Langkah Menghadapinya. Irsyad Baitus
Salam. Bandung. 2000
Yahya, Imam. Syarah Hadits Arba’in. Trigenda Karya. Bandung. 1995

1 komentar: