Selasa, 26 April 2011

pembahasan ushul fikih

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sehubungan dengan adanya diskusi yang dilaksanakan setiap kali pertemuan, kami mencoba untuk membuat ringkasan dari materi-materi yang disampaikan. Kami mencoba untuk memaparkan kembali materi-materi tersebut ke dalam bentuk yang lebih sederhana, hal ini juga menjadi salah satu bukti sampai di mana tingkat pemahaman dan penguasaan kami terhadap materi yang disampaikam melalui diskusi tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami mencoba untuk mengulas tentang masalah:
A. Ushul fiqh
B. Dalil-dalil syariah yang disepakati
C. Dalil-dalil yang diperselisihkan
D. Pembagian hukum syara’
E. Pembuat hukum (syari)
F. Mahkum ‘alaih
G. Mahkum fih
H. Maqashidul Syari’ah
I. Istinbath Hukum Islam
J. Mafhum Mukhalafah


BAB II
PEMBAHASAN

A. USHUL FIQH
Secara bahasa ushul bererti asal-muasal, sedangkan fiqh adalah hukum-hukum, ushul fiqh secara bahasa berarti asal-muasal hukum. Ushul fiqh ditinjau secara ishtilah berarti pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sebagai acuan dalam penetapan hukum syari’at mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terinci.
Obyek pembahasan ilmu fiqh adalah perbuatan mukallaf (muslim yang telah baligh) dilihat dari segi ketetapan hukum syari’at. Tujuan mempelajari ilmu fiqh adalah menerapkan hukum-hukum syari’at Islam atas seluruh tindakan dan ucapan manusia. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh adalah menerapkan kaidah-kaidah, teori dan pembahasan dalil-dalil secara terinci dalam rangka menghasilkan hukum syari’at Islam yang diambil dari dalil-dalil tersebut.
B. DALIL-DALIL SYARIAH YANG DISEPAKATI
1. AL-QUR’AN
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat jibril ke dalam kalbu Rasulullah saw. dengan menggunakan bahasa arab dan disertai dengan kebenaran agar dijadikan hujjah (penguat) dalam hal pengakuannya sebagai Rasul, dan agar dijadikan sebagai undang-undang bagi seluruh umat manusia, di samping merupakan amal ibadah jika membacanya.
Kehujjahan Al-Qur’an adalah hujjah bagi umat manusia, dan hukum-hukumnya merupakan undang-undang yang wajib dipatuhi, ialah karena Al-Qur’an diturunkan dari Allah secara qath’i dan kebenarannya tidak diragukan. Adapun alasan yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah ialah mukjizat Al-Qur’an yang mampu menundukan manusia, sehingga tidak mampu menirunya.
Di dalam Al-Qur’an terdapat tiga hukum yang terkandung, pertama Ahkam I’tiqadiyah atau hukum-hukum kaidah, kedua Ahkam Khuluqiyah atau hukum-hukum akhlak, ketiga Ahkam Amaliyah atau hukum-hukum amal.
2. AS-SUNNAH
Menurut istilah syara’ Sunnah ialah sesuatu yang datang dari Rasulullah saw. Baik ucapan, perbuatan atau taqrir (persetujuan). As-Sunnah al-qauliyah ialah hadits-hadits Rasulullah saw. yang berupa ucapan di dalam berbagai tujuan dan permasalahan. As-Sunnah al-fi’liyah adalah perbuatan Rasulullah saw, seperti shalatnya rasul yang dilengkapi dengan kaifiah-nya dan rukun-rukunnya. As-Sunnah at-taqririyah adalah perbuatan beberapa sahabat Nabi yang disetujui oleh Rasulullah saw.
Umat Islam sepakat bahwa apa saja yang datang dari Rasulullah saw. baik ucapan, perbuatan, dan taqrir, membentuk suatu hukum atau tuntutan yang disampaikan kepada kita dengan sanad shahih dan mendatangkan yang qath’i atau dzanni. Karenanya, dengan kebenaran itu sebagai hujjah bagi umat Islam dan sebagai sumber pembentukan hukum Islam yang oleh para mujtahid dijadikan sebagai rujukan istinbat dan hukum-hukum syari’at bagi mukallaf.dengan kata lain, hukum-hukum yang ada pada As-Sunnah adalah hukum-hukum yang ada pada Al-Qur’an, sebagai peraturan perundangan yang harus ditaati.
Firman alllah:
من يطع الرسول فقد اطاع الله...
قل اطيعوا الله والرسول..
Adapun peran Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1. Adakalanya sunnah berperan sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur’an.
2. Adakalanya sunnah berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang yang disebut secara mujmal (umum) di dalam Al-Qur’an.
3. Adakalanya sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak disebutkan di dalam nash Al-Qur’an.
3. IJMA’
Menurut istilah ahli ushul, ijma’ ialah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian. Karenanya jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan pada seluruh imam mujtahid umat Islam pada waktu itu, kemudian mereka sepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut, maka kesepakatan mereka itu disebut sebagai ijma’.
Ada empat syarat agar ijma’ dapat terwujud. Pertama, adanya sejumlah mujtahid ketika terjadinya suatu peristiwa lantaran kesepakatan tidak mungkin terjadi tanpa adanya beberapa pandangan atau pendapat yang masing-masing dapat kesesuaian. Kedua, bila ada kesepakatan para mujtahid di kalangan umat Islam terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian pada saat terjadinya, tanpa memandang negeri, kebangsaan atau kelompok mereka. Ketiga, kesepakatan para mujtahid itu diringi dengan pendapat mereka masing-masing secara jelas mengenai suatu kejadian. Keempat, kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum. Jika keempat unsur itu dapat berjalan dengan baik, maka hukum-hukum yang disepakati itu menjadi undang-undang syara’ yang wajib dipatuhi, dan hukum ijma’ tidak boleh ditentang atau dihapuskan.
Ijma’ terbagi menjadi dua, pertama ijma’ sharih, atinya kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap hukum suatu kejadian atau peristiwa dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau dengan memberi keputusan. Kedua ijma’ sukuty, yang artinya sebagian mujtahid pada suatu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan, dan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya.
4. AL-QIYAS
Menurut ulama’ ushul, al-qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya) hukumnya.
Setiap qiyas terdiri dari empat rukun, yaitu:
1. Al-ashl, ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash.
2. Al-far’u, ialah sesuatu yang hukumnya tidak terdapat di dalam nash.
3. Hukmu ‘l-ash, ialah hukum syara’yang terdapat nashnya menurut al-ashl, dan dipakai sebagai hukum asal bagi cabang (al-far’u).
4. Al-illat, ialah keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-far’u itu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa qiyas adalah hujah syar’iyyah terhadap hukum-hukum syara’ tentang tindakan manusia. Al-qiyas menempati urutan keempat di antara hujjah syar’iyyah yang ada dengan catatan, jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasar nash atau ijma’.
C. DALIL-DALIL YANG DIPERSELISIHKAN
1. ISTIHSAN
Secara ethimologi, istihsan berarti menganggap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah ulama’ ushul, istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan kias jali (nyata) kepada kias khafi (samar), atau dari dalil kully kepada hukum takhshis lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan kepribadian hukum.
Adapun yang menggunakan istihsan sebagai hujjah kebanyakan dari ulama’ Hanafiyah. Alasan mereka adalah bahwa istidlal dengan jalan istihsan hanya merupakan istidlal dengan qiyas khafi yang dimenangkan atau diutamakan dari qiyas jali.
Ada sebagian mujtahid yang menolak tentang kehujjahan istihsan, diantaranya adalah imam Syafi’i yang mengatakan bahwa “Siapapun yang menggunakan istihsan berarti tidak menggunakan syari’at”. Maksudnya orang itu membuat hukum syari’at sendiri.
2. AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH
Al-mashlahah al-mursalah berarti mutlak, menurut istilah ahli ushul diartikan kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan. Karenanya maslahah mursalah itu disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar atau salah.
Untuk menjadikan mashlahah mursalah sebagai hujjah ditentukan beberapa syarat, yaitu:
• Harus benar-benar membuahkan mashlahah atau tidak mengada-ada.
• Mashlahah itu bersifat umum, bukan perorangan.
• Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan tidak berlawanan dengan tata hukum atau dasar ketetapan nash dan ijma’.
3. ISTISHAB
Secara bahasa istishab berarti pengakuan terhadap hubungan pernikahan, sedangkan menurut istilah ulama’ ushul ialah menetapkan sesuatu berdasar keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan itu atau menetapkan hukum yang ditetapkan pada masa lalu secara abadi berdasarkan keadaan, hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan.
Istishab merupakan dalil syara’ terahir yang dipakai mujtahid sebagai hujjah untuk mengetahui hukum suatu kejadian yang dihadapkan kepadanya. Istishab menetapkan dasar syari’ah sebagai berikut:
• Asal sesuatu itu merupakan ketetapan terhadap sesuatu yang sudah ada berdasar keadaan semula, hingga adanya ketetapan yang merubahnya.
• Asal sesuatu itu adalah mubah.
• Apa-apa yang sudah tetap berdasar keyakinan, tidak akan hilang karena ragu-ragu.
• Asal yang ada pada manusia itu adalah kebebasan.
4. AL-‘URF
Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut sebagai adat. Menurut ahli syara’ urf bermakna adat. Dengan kata lain urf dan adat itu tidak ada perbedaannya.
Urf terbagi menjadi dua, yaitu urf shahih, artinya segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia dan tidak berlawanan dengan hukum syara’, serta tidak menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban., dan urf fasid, artinya segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan syara’.
Untuk urf shahih haruslah dilestarikan dalam rangka pembentukan hukum dalam proses peradilan. Sedangkan urf fasid tidak boleh dipelihara dan dilestarikan. Sebab pemeliharaan terhadap urf fasid berarti menentang hukum syara’, atau membatalkan ketentuan syara’.
5. SYAR’UN MAN QABLANA
Jika Al-Qur’an dan As-Sunnah yang benar itu mengisahkan syari’at atau hukum-hukum syara’ bagi umat sebelum kita, maka hal itu tidak terdapat perbedaan bahwa syari’at itu merupakan syari’at dan undang-undang yang wajib ditaati dengan menetapkan sebagai syari’at.
Misalnya firman Allah yang berbunyi:
 ( البقرة : ۱۸۳ )
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (al-Baqarah : 183)
Jika Al-Qur’an dan al-sunnah telah mengisahkan hukum-hukum itu, dan terdapat nash yang menghapus berlakunya, juga tidak ada perbedaan mengenai hal itu bukanlah merupakan syari’at untuk kita berdasarkan dalil yang menghapuskannya. Misalnya syari’at yang diwajibkan kepada Nabi Musa dan ummatnya, bahwa manusia durjana tidak akan mendapatkan penebusan dosa, kecuali ia membunuh dirinya sendiri, banyak lagi hukum yang merupakan syari’at orang sebelum kita, tetapi telah dihapus berlakunya untuk kita.
6. SAD AL-DZARI’AH
Sad berarti penghalang, hambatan, atau sumbatan. Sedangkan dzariah berarti jalan. Maksudnya sad al-dzari’ah berarti upaya menghambat, menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kerusakan dan kemaksiatan. Contoh: menggali sumur di belakang pintu rumah di jalan yang gelap, sehingga menyebabkan orang yang akan masuk rumah terjatuh masuk ke dalam sumur tersebut.
Adapun kehujjahannya adalah berlandaskan kepada firman Allah yang berbunyi

Artinya: Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…(QS. Al-An’am : 108)
Di dalam ayat ini Allah melarang memaki sesembahan kaum musyrikin karena akan berdampak dengan pembalasan mreka dengan memaki Allah dengan melampaui batas.
D. PEMBAGIAN HUKUM SYARA’
Menurut istilah ulama’ fiqih, hukum syara’ ialah khitab (tuntunan) syar’i yang berkaitan dengan tindakan dan perbuatan mukalaf melalui perintah, pilihan atau ketetapan.
Hukum syara’ terbagi menjadi dua yaitu:
1. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah hukum yang menghendaki dikerjakan oleh mukallaf, baik merupakan larangan mengerjakan, atau memilih antara mengerjakan dan meninggalkan.
Contoh yang menurut mukallaf perlu dikerjakan. Firman Allah:

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka…(QS. At-Tauba : 103)

Contoh hukum, yang mukallaf dituntut meninggalkannya, adalah firman Alah:

Artinya: … Janganlah suatu kaum mengolok-ngolokkan kaum yang lain…


Adapun macam-macam hukum taklifi adalah sebagai berikut:
a. Wajib
Menurut syara’ adalah suatu perbuatan mukallaf yang diperintahkan syari’ dengan perintah wajib, dengan ketentuan perintah itu harus dilakukan sesuai dengan petunjuk kewajiban melakukannya.
b. Al-Mandub (sunat)
Al-mandub menurut syara’ ialah perintah syar’i untuk dikerjakan mukallaf dengan perintah yang tidak pasti. Dengan kata lain sighat perintah syar’i itu tidak menunjukkan pengertian wajib.
c. Al-Muharram (haram)
Al-muharram ialah tuntutan syar’i untuk ditinggalkan secara pasti. Maksudnya sighat larangan itu sendiri menunjukkan larangan pasti.
d. Al-Makruh
Al-makruh ialah perintah syar’i kepada mukalaf agar tidak melakukan suatu perbuatan dengan larangan yang tidak pasti, lantaran sighatnya menunjukkan hal itu.
e. Al-Mubah
Al-mubah ialah suatu perbuatan yang syar’i memberikan pilihan kepada mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meningggalkan.
2. Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i adalah hukum yang menghendaki adanya sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain.
Contoh firman Allah SWT:

Artinya: Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya...(QS. Al-Maidah : 38)
Adanya pencurian sebagai sebab kewajiban memotong bagi pelaku pencurian.


E. PEMBUAT HUKUM (syari)
Ulama’ tidak berbeda pendapat mengenai sumber hukum syara’ bagi seluruh tindakan mekallaf, yaitu Allah SWT. Baik perbuatan itu sudah dijelaskan langsung oleh Allah melalui RasulNya, atau Allah memberikan petunjuk kepada mujtahid mengenai hukum perbuatan mukallaf dengan menggunakan dalil-dalil dan isyarat yang disyari’atkan untuk istinbat hukum. Karenanya mereka sepakat memberikan batasan tentang hukum syara’, ialah kitab Allah yang berkenan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan (perintah), takhyir (memilih), atau penetapan. Hal ini terkenal dalam ushul dengaistilah la hukma illa lillah.
Hal ini merupakan bukti kebenaran firman Alah:
(الانعام : ٥۷)
Artinya: ...Menetapkan hukum itu hanyalah khak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (QS. Al-An’am : 57)
F. MAHKUM ‘ALAIH
Al-mahkum ‘alaih adalah seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syari’.
Sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif (pembebanan), yakni ia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan Al-Qur’an dan al-sunnah baik yang lansung maupun yang melalui perantaraan. Akal juga menjadi syarat dalam pembebanan ini, maka barangsiapa yang telah mencapai kedewasaan tanpa menampakkan sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, berarti telah padanya kemampuan untuk diberi beban. Oleh karena itu orang gila, anak-anak, orang yang lupa, tidur dan mabuk, mereka tidak dikenakan beban hukum.
Sabda nabi saw.
من نام عن صلاة او نسيها فايصلّيها اذا ذكرها فانّ ذالك وقتها
Artinya: Barang siapa tidur sehingga tertinggal melakukan shalat atau lupa mengerjakanya, hendaklah ia mengerjakan shalat itu ketika ia ingat, karena sesungguhnya ketika ingat itulah waktu shalat.
G. MAHKUM FIH
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fiih adalah obyek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.
Sarat-syarat mahkum fih adalah sebagai berikut:
1. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan.
2. Perbuatan itu memungkinkan untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
Macam-macam mahkum fih
Para ulama ushul fiqih membagi mahkum fiih dari dua segi yaitu:
1. Dari segi keberadaannya secara material dan syara’, mahkum fiih terdiri atas:
• Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum.
• Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian dan pembunuhan.
• Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti sholat dan zakat.
• Perbuatan yang secara material ada dan diatur syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli dan sewa-menyewa.
2. Dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, mahkum fiih terdiri atas 4 bentuk yaitu:
• Semata-mata hal Allah, yaitu segala yang menyangkut kemaslahatan umum tanpa kecuali. Para ulama ushul fiqih membagi menjadi 8 macam antara lain:
• Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
• Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).
• Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih dominan didalamnya, seperti dalam masalah Qishash.
H. MAQASHIDUL SYARI’AH
Maqashidul Syari’ah adalah suatu hukum yang menjelaskan maksud syara’. Adapun tingkatan-tingkatan Maqashidul Syari’ah adalah sebagai berikut:
• Dharuri
Yakni perkara tersebut harus didahulukan dari yang lain.
• Haji
Yakni segala sesuatu yang dihayati oleh manusia.
• Tahsini
Yakni urusan-urusan yang mewujudkan keindahan, atau dapat juga disebut sebagai pelengkap.
Contoh:
Syara’ memerintahkan pemuda yang sudah mapan untuk menikah.
Di dalam perintah di atas dapat dilihat bahwa tujuan syara’ memerintahkan pemuda untuk menikah adalah untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan dari segi syahwat.
I. ISTINBATH HUKUM ISLAM
Secara etimologi istinbath berarti penemua, penggalian, pengeluaran (dari asal). Sedangkan hukum mempunyai arti peraturan dan kekuasan. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa istinbath hukum al-Qur’an adalah menemukan dan mengambil hukum dari al-Qur’an ataupun Sunnah.
Seseorang yang ingin mengistinbathkan atau mengambil hukum dari sumber-sunber tersebut harus betul-betul mengetahui bahasa arab dengan seluk beluknya. Untuk itu hal yang terpenting dalam mengistinbathkan hukum adalah kaidah lughawiyah, yang mencakup lafadz menurut makna yang dikandungnya, yaitu al-‘am dan al-khash.


J. MAFHUM MUKHALAFAH
Mafhum ialah sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz, tetapi bukan ucapan dari lafadz itu sendiri. Disebutkan juga dalam buku lain bahwa mafhum adalah implikasi suatu kata yang tidak pada tempatnya pada ketetapan hukum sesuatu yang telah disebutkan bagi sesuatu yang didiamkan atau tidak dikomentari atau pada penafian suatu hukum darinya.
Macam-macam mafhum mukhalafah:
• Mafhum sifat
• Mafhum ‘adad
• Mafhum ghayah
• Mafhum had
• Mafhum laqab
Syarat-syarat mafhum mukhalafah:
• Mafhum mukhlafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthuq maupun dalil muwafaqah.
• Manthuq (yang disebutkan) bukan hal yang biasa terjadi.
• Manthuq bukan dimaksudkan untuk menguatkan suatu keadaan.
• Manthuq harus berdiri sendiri. Tidak mengikuti kepada yang lain.













BAB III
PENUTUP

Demikianlah ringkasan-ringkasan materi yang dapat kami simpulkan. Sudah barang tentu dalam hal ini banyak sekali terdapat kekurangan dan kesalahan,oleh karena itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-berasnya kepada bapak Imam Alfiannor, MHI. Yang telah banyak menyampaikan pengetahuannya tentang ushul fiqih kepada kami, semoga Alah membalas jasa-jasanya dengan pahala yang berlipat, amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar