Jumat, 20 Mei 2011

metode pembagian harta waris

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Beberapa metode digunakan untuk mempermudah dalam pembagian harta warisan. Namun dalam penerapan metode tersebut terkadang menemukan kendala, seperti adanya kekurangan atau kelebihan harta. Akan tetapi masalah tersebut juga sudah sudah teratasi dengan beberapa penjelasan mengenai radd dan ‘aul.
Perlu diketahui bahwasanya sebelum seseorang membagi harta warisan, haruslah ia benar-benar faham betul siapa saja yang mempunyai hak waris. Oleh karena itu, makalah sederhana yang kami sajikan ini tidak hanya menjelaskan tentang metode perhitungan pembagian waris, namun juga menjelaskan siapa saja yang mempunyai hak harta waris.
B. Rumusan Masalah
Bermula dari sebuah pemikiran betapa pentingnya pengetahuan mengenai metode pembagian harta warisan, maka kami berinisiatif untuk membahas mengenai metode pembagian waris beserta hal-hal yang mempunyai kaitan erat dengan metode tersebut. Oleh sebab itu dalam karya ilmiah kami yang sederhana ini, kami mencoba untuk mengulas beberapa hal, yaitu:
i. Golongn Ahli Waris
ii. Penghalang Ahli Waris
iii. Beberapa Metode Pembagian Harta Warisan.









BAB II
PEMBAHASAN
METODE PERHITUNGAN PEBAGIAN HARTA WARIS

Dalam perhitungan pembagian harta warisan, diharapkan apa yang ditentukan al-Qur’an dalam Furudh al-Muqaddarah dapat dilaksanakan. Namun di dalam praktek pelaksanaan pembagiannya sering dijumpai adanya kelebihan atau kekurangan harta . Hal ini membawa implikasi timbulnya persoalan di dalam penyelesaiannya, dan untuk itulah diperlukan metode perhitungan yang tepat. Seseorang yang membagi warisan perlu mengetahui secara persis dan menyeluruh tentang golongn ahli waris. Berikut ini sebelum membahas metode pembagian harta waris, kami akan memaparkan terlebih dahulu mengenai golongan ahli waris beserta hal-hal yang menghalangi ahli waris untuk mendapat harta waris .
A. GOLONGAN AHLI WARIS
a. Dzawil Furudh
Dzawil furudhh ialah ialah ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu dalam hukum Islam. Dalam membagi warisan, ahli waris dzawil furudh harus didahulukan dari pada ahli waris ashabah dan dzawil arham. Adapun ahli waris yang termasuk dzawil furudhh ada 12 orang, yakni 4 orang laki-laki dan 8 orang perempuan. Mereka itu adalah:
1. Dzawil furudhh laki-laki
1) Suami
2) Ayah
3) Saudara laki-laki seibu
4) Kakek dan seterusnya keatas.
2. Dzawil furudhh yang perempuan
1) Istri
2) Anak perempuan
3) Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah
4) Saudara perempuan sekandung.
5) Saudara perempuan seayah
6) Saudara perempuan seibu
7) Ibu
8) Nenek
b. Ashabah
Ashabah adalah ahli waris yang berhak mewarisi seluruh harta warisan atas semua sisa setelah harta warisan dikeluarkan untuk harta waris yang mendapat bagian tertentu (dzawil furudhh). Dengan demikan ada kemungkinan dia akan menerima seluruh harta warisan, menerima sisanya atau tidak menerima sama sekali karena telah diambil habis oleh dzawil furudhh.
Ashabah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Ashabah bin Nafsi
Ashabah bin Nafsi ialah ahli waris yang menjadi ashabah karena dirinya sendiri. Mereka ialah:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki ke bawah
3) Ayah
4) Kakek (dari pihak bapak) ke atas
5) Saudara laki-laki kandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
9) Saudara laki-laki ayah kandung
10) Saudara laki-laki ayah seayah
11) Anak laki-laki saudara laki-laki ayah (paman) kandung
12) Anak laki-laki saudara laki-laki ayah (paman) seayah
13) Orang laki-laki yang memerdekakan budak.
2. Ashabah bil Ghairi
Ashabah bil ghairi adalah ahli waris yang menjadi ashabah karena ditarik oleh ahli waris yang telah menjadi ashabah. Apabila tidak ada ashabah, maka ia tetap mendapat bagian sebagai ashabul furudhh. Mereka itu adalah:
1) Anak perempuan yang ditarik anak laki-laki
2) Cucu perempuan yang ditarik cucu laki-laki
3) Saudara perempuan kandung yang ditarik saudara laki-laki kandung
4) Saudara perempuan seayah yang ditarik saudara laki-laki seayah.
3. Ashabah Ma’al Ghairi
Ashabah ma’al ghairi ialah ahli waris yang menjadi ashabah karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang bukan ashabah. Apabila ahli waris yang lain itu tidak ada, maka ia tetap mendapatkan bagian sebagai ashabul furudhh. mereka itu adalah:
1) Seorang saudara perempuan kandung atau lebih yang bersama-sama dengan seorang anak perempuan atau lebih, atau bersama-sama dengan seorang cucu perempuan atau lebih
2) Seorang saudara perempuan seayah atau lebih yang bersama-sama dengan seorang cucu perempuan atau lebih
3) Seorang saudara perempuan kandung atau lebih yang bersama-sama dengan seorang anak perempuan dan seorang cucu perempuan.
c. Dzawil Arham
Dzawil arham ialah keluarga yang mendapat warisan atas nama rahim (keluarga). mereka itu mempunyai hubungan famili dari pihak perempuan. Mereka tidak mendapat bagian warisan jika ahli waris dzawil furudhh atau ashabah masih asa. Mereka adalah keluarga orang yang meninggal, tetapi tidak ada ketentuannya dalam al-Qur’an dan Hadits. Yang termasuk dzawil arham ialah:
1) Cucu (laki-laki ataupun perempuan) dari anak perempuan. Kedudukannya dalam masalah warisan sama dengan anak perempuan. Artinya jika anak perempuan mendapat 1/2, maka mereka juga mendapat 1/2.
2) Anak laki-laki atau perempuan dari cucu perempuan. Kedudukan mereka sama dengan cucu perempuan.
3) Kakek (bapak dari ibu). Kedudukannya sama dengan ibu.
4) Nenek dari pihak kakek (ibu dari kakek yang tidak menjadi ahli waris, umpamanya nenek dari ibu), keduanya sama dengan ibu.
5) Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung, sebapak atau seibu, kedudukannya sama dengan saudara laki-laki.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, kedudukannya sama dengan saudara laki-laki seibu.
7) Anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan kandung, sebapak atau seibu, kedudukannya sama dengan saudara perempuan.
8) Bibi (saudara perempuan bapak) dan saudara perempuan kakek, kedudukannya sama dengan bapak.
9) Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan kakek. Kedudukannya sama dengan bapak.
10) Saudara laki-laki dan saudara perempuan ibu. Kedudukannya sama dengan ibu.
11) Anak perempuan paman. Kedudukannya sama dengan paman.
12) Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu). Kedudukanya sama dengan ibu.
13) Turunan dari rahim-rahim yang tersebbut di atas.
Apabila ahli waris yang mendapat bagian tertentu (dzawi furudhh) tidak ada ataupun harta warisan itu masih ada sisanya setelah dibagi-bagikan kepada ahli waris, maka selebihnya di bagi-bagi kepada dzawil arham yang lebih dekat pertaliannya (hubungnnya) dengan orang yang meninggal itu.
d. Furudhhul Muqaddarah
Furudhul muqaddarah ialah ketentuan kadar bagi masing-masing ahli waris. Adapun yang termasuk furudhul muqaddarah ada enam macam, yaitu:
1) Seperdua (1/2)
2) Dua pertiga (2/3)
3) Seperenam (1/6)
4) Sepertiga (1/3)
5) Seperempat (1/4)
6) Seperdelapan (1/8)
Adapun rincian ahli waris yang mendapat warisan sesuai dengan furudhul muqaddarah adalah sebagai berikut:
1) ahli waris yang mendapat bagian 1/2
• Anak perempuan tunggal
• Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki
• Saudara perempuan tunggal yang kandung
• Saudara perempuan tunggal yang sebapak, apabila saudara perempuan yang sekandung tidak ada
• Suami, apabila istri tidak mempunyai anak cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki.
2) Ahli waris yang mendapat bagian bagian 2/3
• Dua anak perempuan atau lebih. Mereka mendapat 2/3, apabila tidak ada anak laki-laki.
• Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, apabila anak perempuan tidak ada.
• Dua orang saudara perempuan atau lebih yang kandung.
• Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak.
3) Ahli waris yang mendapat bagian 1/6
• Ibu si mayyit, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu, atau saudara (laki-laki atau perempuan) yang kandung, sebapak atau seibu.
• Bapak si mayyit, apabila yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
• Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) si mayyit, apabila yang meninggal tidak mempunyai ibu.
• Cucu perempuan (seorang atau lebih) si mayyit dari anak laki-laki, apabila yang meninggal mempunyai anak perempuan tunggal. Akan tetapi apabila mempunyai anak perempuan lebih dari satu, maka cucu perempuan tadi tidak mendapat warisan.
• Kakek si mayyit, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu, sedang bapaknya tidak ada.
• Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) si mayyit yang seibu.
• Saudara perempuan si mayyit yang sebapak (seorang atau lebih), apabila yang meninggal mempunyai seorang saudara perempuan sekandung. Apabila mempunyai saudara lebih dari satu, maka saudara perempuan sebapak tadi tidak mendapat warisan.
4) Ahli waris yang mendapat bagian 1/3
• Ibu si mayyit, apabila yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau cucu, atau tidak mempunyai saudara kandung, sebapak atau seibu.
• Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) si mayyit yang seibu.
5) Ahli waris yang mendapat bagian 1/4
• Suami si mayyit, apabila yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
• Istri si mayyit, (seorang atau lebih), apabila yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu dan anak laki-laki.
6) Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/8
Istri si mayyit (seorang atau lebih) mendapat 1/8 dari harta yang ditinggalkan suaminya apabila suaminya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki .
B. PENGHALANG AHLI WARIS
Ahli waris yang lebih jauh dari si mati terhalang oleh ahli waris yang terdekat dengannya. Misalnya cucu laki-laki tidak mendapat harta waris jika ada anak si mayyit. Datuk laki-laki tidak mendapat harta waris jika ada ayah si mayyit. Nenek tidak mendapatkan harta waris jika ada ibu. Anak saudara tidak mendapatkan harta waris jika ada saudara ayah .
Dalam hal ini bisa lebih dipaparkan sebagai berikut:
1) Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah) tidak mendapat harta waris karena ada ibu, begitu juga dengan kakek selama ayah masih ada.
2) Saudara seibu tidak mendapat harta waris karena adanya:
• Anak (laki-laki atau perempuan)
• Anak dari anak laki-laki (laki-laki atau perempuan)
• Bapak
• Kakek.
3) Saudara sebapak tidak mendapat harta jika masih ada:
• Bapak
• Anak laki-laki
• Cucu laki-laki
• Saudara laki-laki yang seibu sebapak.
4) Saudara seibu sebapak tidak mendapat harta waris dengan adanya salah satu:
• Anak laki-laki
• Cucu laki-laki
• Bapak .
C. METODE PERHITUNGAN HARTA WARISAN
a. Metode Ushul Al-Masail dan Cara Penggunaannya
Kata ushul al-masail adalah bentuk jamak dari asal al-masalah, secara sederhana dapat dapat dianalogikan dengan angka kelipatan persekutuan terkecil. Dalam menetapkan angka asal masalah, setelah diketahui masing-masing ahli waris (ashab al-furudhh al-muqaddarah), adalah mencari angka kelipatan persekutuan terkecil, yang dapat dibagi oleh masing-masing angka penyebut dari bagian ahli waris yang ada. Misalnya bagian ahli waris 1/2 dan 1/3. Angka masalahnya 6. Angka ini dapat dibagi 2 (6:2=3) dan dapat dibagi 3 (6:3=2).
Apabila bagian yang diterima ahli waris adalah 1/4, 2/3 dan 1/6, maka asal masalahnya adalah 12. Angka 12 dapat dibagi 4 (12:4=3), juga dapat dibagi 3 (12:3=4), dan dapat dibagi 6 (12:6=2) tanpa menimbulkan angka pecahan. Demikian juga apabila bagian yang mereka terima adalah 1/8 dan 2/3, maka asal masalahnya adalah 24. Karena angka 24 adalah angka terkecil yang dapat dibagi 8 (24:8=3) dan dibagi 3 (24:3=8).
Maksud pembagian angka terkecil sebagai angka asal masalah adalah, pertama, untuk memudahkan perhitungan. Sebab bisa juga angka asal masalah digunakan angka yang lebih besar, yang dapat dibagi oleh masing-masing angka penyebut, tetapi cara semacam ini tidak efektif. Kedua, dengan perumusan angka asal masalah dapat diketahui secara cepat, apakah akan terjadi kelebihan atau kekurangan harta (radd atau ‘aul). Dengan demikian seseorang tidak perlu harus bertele-tele dalam menghitung harta warisan, sementara belum diketahui adanya kekurangan atau kelebihan.
Seperti dikemukakan terdahulu, bahwa furudhh al-muqaddarah adalah 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3. Angka asal masalahnya yang dapat dirumuskan hanya ada tujuh angka, yaitu:
• Angka 2 (antara 1/2 dan 1/2)
• Angka 3 (antara 1/3 dan 2/3)
• Angka 4 (antara 1/2 dan1/4)
• Angka 6 (antara 1/2, 1/3, dan 2/3)
• Angka 8 (antara 1/2, dan 1/8)
• Angka 12 (antara 1/2, 1/3, 1/4, dan atau 1/6)
• Angka 24 (antara 1/3, 1/6, 1/8, dan atau 2/3).
Ada beberapa istilah yang dapat membantu memudahkan dalam perumusan angka masalah, yaitu dengan cara memperhatikan angka-angka penyebut dari bagian yang diterima oleh ahli waris.
1) Tamatsul atau Mumasalah, yaitu apabila angka penyebut masing-masing bagian ahli waris sama besarnya. Maka angka asal masalahnya adalah mengambil angka tersebut. Misalnya, ahli waris terdiri dari 2 saudara perempuan sekandung dan 2 saudara seibu, 2 saudara perempuan sekandung menerima 2/3 bagian dan 2 saudara seibu menerima bagian 1/3, angka asal masalahnya 3.
2) Tadakhul atau Mudakhalah, yaitu apabila angka penyebut masing-masing bagian ahli waris, yang satu (yang kecil) bisa masuk untuk membagi angka penyebut yang lain yang lebih besar. Angka asal masalahnya adalah diambil angka penyebut yang besar. Seperti ahli waris terdiri dari seorang istri dan seorang anak perempuan. Istri menerima bagian 1/8 dan anak perempuan menerima 1/2, maka angka masalahnya 8.
3) Tawafiq Muwafaqah, yaitu apabila angka penyebut pada bagian ahli waris tidak sama, angka penyebut yang kecil tidak bisa untuk membagi angka penyebut yang besar, tetapi msing-masing angka penyebut yang ada dapat dibagi oleh angka yang sama. Misalnya ahli waris yang ada terdiri dari isteri, ibu, dan anak perempuan. Istri menerima bagian 1/8, ibu menerima 1/6 dan anak perempuan 1/2. Antara angka 8 dan 6 adalah angka muwafaqah. Maka perumusan angka asal masalahnya adalah mengalikan angka penyebut yang satu dengan hasil hagi angka penyebut yang lain, setelah dibagi oleh angka yang sama. 8x(6:2)=24, atau 6x(8:2)=24.
4) Tabayun atau Mubayanah, yaitu apabila angka penyebut pada bagian yang diterima ahli waris masing-masing tidak sama, angka penyebut yang kecil tidak dapat untuk membagi angka penyebut yang besar, dan masing-masing angka penyebut yang ada tidak dapat dibagi oleh satu angka yang sama. Maka penetapan angka asal masalahnya adalah dengan cara mengalikan angka penyebut masing-masing. Jika ahli warisnya terdiri dari suami dan ibu, maka suami menerima bagian 1/2 dan ibu 1/3. Maka angka asal masalahnya adalah 2x3=6. Jika ahli warisnya terdiri dari isteri dan 2 anak perempuan, maka isteri menerima bagian 1/8 dan 2 anak perempuan menerima bagian 2/3. Maka asal masalahnya adalah 8x3=24.
Apabila dalam pembagian warisan ternyata terdapat ahli waris ashab al-furudh al-muqaddarah lebih dari dua orang dan masing-masing menerima bagian yang berbeda-beda angka penyebutnya, maka penetapan angka masalahnya adalah dengan cara memperhatikan angka-angka penyebut sesuai dengan urutan di atas, untuk selanjutnya dikaitkan satu dengan yang lain. Misal ahli waris yang terdiri dari 2 anak perempuan, isteri, ibu dan ayah. Bagian masing-masing:
• 2 anak perempuan 2/3
• Isteri 1/8
• Ibu 1/6
• Ayah 1/6+ashabah.
Untuk menetapkan angka asal masalah, terlebih dahulu seseorang memperhatikan angka penyebutb 2/3 dan 1/6. Dari sini dapat ditetapkan angka 6 sebagai asal masalah. Kemudian angka 6 dihubungkan dengan angka 1/8. Angka 6 dan 8 masing-masing dapat dibagi oleh angka yang sama yaitu angka 2. (6:2=3), dan (8:2=4). maka angka asala masalahnya adalah 24, yaitu diambil dari (6x4=24) atau (8x3=24).
contoh: Seseorang meninggal dunia, harta warisan yang ditinggalkan sejumlah Rp 12.000.000,- ahli warisnya terdiri dari suami, anak perempuan, cucu perempuan garis laki-laki dan saudara perempuan sekandung. Bagian masing-masing adalah:
Ahli waris Bagian AM.12 HW. Rp 12.000.000 Penerimaan
Suami 1/4 3 3/12x Rp 12.000.000 =Rp 3.000.000
Anak pr. 1/2 6 6/12x Rp 12.000.000 =Rp 6.000.000
Cucu pr.grs.lk2. 1/6 2 2/12x Rp 12.000.000 =Rp 2.000.000
Sdr.pr.skd as 1 1/12x Rp 12.000.000 =Rp 1.000.000
12 jumlah =Rp12.000.000

b. Metode Tashih Al-Masail dan Penggunaannya
Tashih al-masail adalah mencari angka asal masalah yang terkecil agar dapat dihasilkan bagian yang diterima ahli waris tidak berupa angka pecahan. Metode tashih al-masail ini hanya dipergunakan apabila bagian yang diterima ahli waris berupa angka pecahan. Oleh karena itu, langkah ini hanya semata-mata untuk memudahkan perhitungan dalam pembagian warisan. Persoalannya adalah, bagaimana dengan penggunaan mesin hitung (kalkulator) yang lebih cepat dan lebih cermat? Apakah metode ini masih perlu digunakan ? jawabannya adalah, tentu saja penggunaan mesin hintung akan sangat membantu. Namun demikian, yang terpenting dalam pembagian warisan adalah menentukan bagian-bagian tertentu (furudhh al-muqaddarah) yang diterima ahli waris. Untuk itu metode tashih al-masail akan dikemukakan secukupnya.
Adapun langkah-langkah yang perlu diambil dalam tashih al-masail adalah sebagai berikut:
1) Memperhatikan pecahan pada angka bagian yang diterima ahli waris (yang terdapat dalam satu kelompok ahli waris).
2) Memperhatikan pada angka bagian yang diterima ahli waris, terdapat lebih dari satu kelompok ahli waris.
Selanjutnya untuk menetapkan angka tashih al-masailnya ditempuh dengan cara:
1) Mengetahui jumlah person (kepala) penerima warisan dalam kelompok satu ahli waris
2) Mengetahui bagian yang diterima kelompok tersebut
3) Mengalikan jumlah person dengan bagian yang diterima kelompoknya.
Jika misalnya, seseorang meninggal dunia dan ahli warisnya terdiri dari ibu, ayah, 2 anak laki-laki, dan 2 anak perempuan. Maka bagian masing-masing adalah:
Ahli waris Bagian (AM.6)
Ibu 1/6 1
Ayah 1/6 1
2 Anak lk2
As 4
2 Anak pr.
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa bagian yang ditrima anak laki-laki dua kali bagian perempuan, maka jumlah personnya adalah 2 laki-laki = 4, dan 2 perempuaan =2. Jadi seluruhnya memerlukan 6 bagian.
Angka 4 tidak bisa dibagi habis oleh angka 6. Oleh karena itu, perlu ditashih angka asal masalahnya. Caranya adalah mencari dari hasil bagi antara bagian yang diterima dan jumlah person dibagi oleh satu angka. Setelah itu dikalikan dengan angka asal masalah. Angka 4:2=2, atau angka 6:2=3. Jadi angka masalah setelah ditashih adalah 6x3=18.
Jadi contoh di atas apabila dilakukan tashih al-masalah, maka angka asal masalahnya adalah sebagai berikut:
Ahli waris Bagian (AM.6) Tashih al-Masail 6x3=18 Penerimaan
Ibu 1/6 1 1x3= 3
Ayah 1/6 1 1x3= 3
2 Anak lk2 4 (4/6x12= 8)
As 4 4x3= 4
2 Anak pr. 2 (2/6x12= 4)
6 jumlah 18

c. Perhitungan Pembagian Warisan Apabila Ahli Waris Terdiri Dari Ashab Al-Furudhh dan Ashabah.
Apabila dalam kasus pembagian warisan, ahli warisnya terdiri dari ashab al-furudhh dan ashab al-ashabah, langkah-langkah yang perlu diperhatikan adalah:
1) Menetapkan beberapa bagian masing-masing ashab al-furudh. (dalam hal ini dilakukan seleksi mana ahli waris yang mahjub).
2) Menetapkan ahli waris ashab al-ashabah yang lebih dahulu berhak menerima bagian sisa dengan ketentuan:
• Jika masing-masing ahli waris sebagai ashabah binafsih, maka ahli waris yang terdekatlah yang menerima bagian sisa.
• Jika ahli waris yang menerima ashabah bil ghairi, maka mereka bergabung menerima ashabah, seperti anak perempuan bergabung dengan anak laki-laki. Cucu perempuan garis laki-laki bersama cucu laki-laki garis laki-laki. Saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki sekandung. Demikian juga saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah. Dalam hal ini berlaku ketentuan laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan.
• Jika ahli waris yang menerima ashabah ma’a al-ghairi, berarti terjadi perubahan, yang seemula ashab al-furudhh menjadi penerima ashabah, tetapi ahli waris penyebab (mu’assib)nya, tetap menerima bagian semula.
3) Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa kadang-kadang ahli waris ashabah menerima bagian besar, kadang-kadang menerima sedikit, dan tidak jarang mereka tidak mendapatkan bagian sama sekali, karena harta warisan telah habis dibagikan kepada ashab al-furudhh. Ini sebagai konsekuensi dari hak mereka yang menerima bagian sisa.
Contoh: Harta warisan si mayyit sebesar Rp 9.600.000,- Ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Bagian masing-masing adalah:
Ahli waris bagian (AM.12) HW. (Rp 9.600.0000) Penerimaan
Suami 1/4 3 3/12x Rp 9.600.0000 =Rp 2.400.000
Ibu 1/6 2 2/12x Rp 9.600.0000 =Rp 1.600.000
Anak lk2
As 7 7/12x Rp 9.600.0000 =Rp 5.600.000
Anak pr.
12 jumlah =Rp 9.600.000
Anak laki-laki menerima bagian 2/4x Rp 5.600.000 = Rp 2.800.000, dan anak perempuan masing-masing menerima sebesar 1/4x Rp 5.600.000 = Rp 1.400.000 .
d. Penyelesaian Pembagian Warisan Apabila Ahli Waris Hanya Terdiri Dari Ashab al-Furudhh (penyelesaian dengan cara ‘aul dan radd)
Apabila dalam suatu kasus pembagian warisan, ahli warisnya hanya terdiri dari ashab al-furudh saja, ada tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu:
1) Terjadi kekurangan harta, yaitu apabila ahli waris banyak dalam furudh al-muqaddarah dilaksanakan apa adanya. Oleh karena itu, cara penyelesaiannya adalah bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris dikurangi secara proporsional menurut besar kecilnya bagian yang mereka terima. Ini disebut masalah ‘aul.
2) Terjadi kelebihan harta, karena ahli waris ashab al-furudh hanya sedikit, dan bagian penerimaannya juga sedikit. Dalam kasus ini, sebagian pendapat mengatakan bahwa kelebihan harta warisan itu dikembalikan kepada ahli waris. Pendapat lain menghendaki agar sisa harta yang diserahkan kepada bait al-mal. Pendapat yang lain mengatakan, agar sisa harta dikembalikan kepada ahli waris, tetapi khusus selain ahli waris suami atau isteri, yakni ahli waris nasabiyah yang memiliki hubungan darah dengan si mayyit. Pengembalian harta tersebut disebut radd.
3) Bagian yang diterima ahli waris tepat persis dengan harta warisan yang dibagi. Jika terjadi pembagian harta warisan seperti ini disebut dengan ‘adilah. Yang terahir ini tidak menimbulkan persoalan. Oleh karena itu, uraian berikutnya akan difokuskan pada dua masalah, yaitu masalah ‘aul dan radd.
a. Masalah ‘Aul
Secara harfiyah, ‘aul artinya bertambah atau meningkat. Dikatakan ‘aul, karena dalam pembagian ‘aul warisan, angka asal masalah harus ditingkatkan atau dinaikkan sebesar angka bagian yang diterima oleh ahli waris yang ada. Langkah ini diambil, karena apabila pembagian warisan diselesaikan menurut ketentuan baku secara semestinya, maka akan terjadi kekurangan harta.
Masalah ‘aul tampaknya belum muncul pada masa Nabi saw. Boleh jadi karena secara kebetulan belum atau tidak kasus yang menurut penyelesaian dengan cara ‘aul ini. Para ulama mengatakan, bahwa kasus ‘aul pertama kali muncul adalah ketika sahabat ‘Umar ibn Khattab ditanya oleh seorang sahabat tentang penyelesaian pembagian warisan di mana ahli warisnya terdiri dari suami dan 2 orang saudara perempuan sekandung. Suami menerima 1/2 karena tidak ada anak, dan 2 saudara perempuan sekandung menerima 2/3. Jika asal masalahnya 6, maka suami menerima bagian 1/2, berarti 1/2x6=3, dan dua saudara perempuan sekandung 2/3, berarti 2/3x6=4. Jadi jumlah seluruhnya 7. Artinya kelebihan 1.
Menghadapi pertanyaan tersebut, sahabat ‘Umar bimbang. Beliau tidak mengetahui siapa di antara mereka yang harus didahulukan. Sebab, sekiranya beliau telah mengetahuinya, beliau tentu tidak akan menemui kebimbangan. Kemudian, disampaikanlah masalah ini kepada Sabit dan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthallib seraya beliau berkata “Sekiranya aku mulai dengan memberikan bagian kepada suami, maka bagian 2 saudara perempuan sekandung tentu tidak sempurna bagiannya, atau sekiranya aku mulai memberikan bagian kepada 2 saudara perempuan sekandung, tentu suami tidak sempurna bagiannya.
Atas dasar pendapat sahabat ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthallib tersebut dan disaksikan oleh Zaid ibn Tsabit, beliau mnyelesaikan kasus di atas dengan ‘aul, yaitu menaikkan angka masalah sebesar angka jumlah bagian yang diterima ahli waris semula.
Ahli waris Bagian (AM.6) Di’aulkan 7 Penerimaan
Suami 1/2 3 3/6 3/7
2 saudara pr. Sekandung 2/3 4 4/6 4/7
7 7/6 7/7
Contoh: Seseorang meninggal dunia, harta warisannya sebesar Rp 60.000.000,- Ahli warisnya terdiri dari isteri, ibu, 2 saudara perempuan sekandung dan saudara seibu. Bagian masing-masing adalah:
• Jika diselesaikan dengan apa adanya:
Ahli waris Bagian AM.12 HW. Rp 60.000.000 Penerimaan
Isteri 1/4 3 3/12x Rp 60.000.000 =Rp 15.000.000
Ibu 1//6 2 2/12x Rp 60.000.000 =Rp 10.000.000
2 sdr. Pr. Skd 2/3 8 8/12x Rp 60.000.000 =Rp 40.000.000
Sdr. Seibu 1/6 2 2/12x Rp 60.000.000 =Rp 10.000.000
15 jumlah =Rp 75.000.000
Hasilnya terjadi kekurangan harta sebesar Rp 15.000.000
• Apabila diselesaikan dengan cara ‘aul, maka akan diperoleh sebagai berikut:
Ahli waris Bagian AM.12-15 HW. Rp 60.000.000 Penerimaan
Isteri 1/4 3 3/15x Rp 60.000.000 =Rp 12.000.000
Ibu 1/6 2 2/15x Rp 60.000.000 =Rp 8.000.000
2 sdr.pr.skd 2/3 8 8/15x Rp 60.000.000 =Rp 32.000.000
Sdr.seibu 1/6 2 2/15x Rp 60.000.000 =Rp 8.000.000
15 jumlah = Rp 60.000.000
Angka asal masalah di’aulkan dari 12 menjadi 15, karena apabila tidak di’aulkan akan terjadi kekurangan harta sebesar Rp 15.000.000 .
b. Masalah Radd
Masalah radd merupakan kebalikan dari masalah ‘aul. Radd secara harfiyah artinya mengembalikan. Masalah ini terjadi, apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli waris ashab al-furudh memperoleh bagiannya. Cara radd ini ditempuh bertujuan untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris yang ada seimbang dengan bagian yang diterima masing-masing secara proposional.
Caranya adalah mengurangi angka masalah, sehingga besarnya sama dengan jumlah bagian yang diterima oleh ahli waris. Apabila tidak ditempuh cara radd, akan menimbulkan persoalan siapa yang berhak menerima kelebihan harta, sementara tidak ada ahli waris yang menerima ashabah.
Contoh: Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari anak perempuan dan ibu. Harta warisannya sebesar Rp 12.000.000,- Bagian masing-masing adalah:
• Jika tidak ditempuh dengan cara radd:

Ahli waris Bagian AM.6 HW. Rp 12.000.000 Penerimaan
Anak pr. 1/2 3 3/6x Rp 12.000.000 =Rp 6.000.000
Ibu 1/6 1 1/6x Rp 12.000.000 =Rp 2.000.000
4 jumlah =Rp 8.000.000
Terdapat sisa harta sebesar Rp 4.000.000
• Jika diselesaikan dengan cara radd:

Ahli waris Bagian AM. 6-4 HW. Rp 12.000.000 Penerimaan
Anak pr. 1/2 3 3/4x Rp 12.000.000 =Rp 9.000.000
Ibu 1/6 1 1/4x Rp 12.000.000 =Rp 3.000.000
4 jumlah = Rp 12.000.000
Anak perempuan yang semula mendapatkan bagian Rp 6.000.000,- berubah mendapat bagian Rp 9.000.000 dan ibu yang semula mendapat bagian Rp 2.000.000,- berubah menjadi Rp 3.000.000,- .

















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dzawil Furudh, Ashabah, Dzawil Arham dan Furudhhul Muqaddarah adalah golongan yang berhak menerima harta warisan. Di antara mereka ada yang mendapatkan bagian pasti dan ada juga yang mendapatkan bagian tidak pasti. Ada pula beberapa ahli waris yang tidak mendapatkan harta warisan karena terdapat penghalang. Hal ini dikarenakan adanya ahli waris lain yang lebih dekat dengan si mayyit.
Metode ushul al-masail, metode tashih al-masail dan perhitungan pembagian warisan (apabila ahli waris terdiri dari ashab al-furudhh dan ashabah) adalah metode-metode yang digunakan untuk membagi harta warisan. Namun terkadang terdapat kendala dalam pembagian harta warisan tersebut dikarenakan adanya kekurangan atau kelebihan pada harta warisan. Akan tetapi hal ini sudah teratasi dengan penyelesaian metode penyelesaian radd dan ‘aul.













DAFTAR PUSTAKA

Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2001
Abyan, Amir. Fiqih. Karya Toha Putra. Semarang 2003
Rifa’i, M. Fikih Islam Lengkap. PT. Karya Toha Putra. Semarang 1997
Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam. Sinar Baru Al-Gesindo. Bandung. 1998

Senin, 02 Mei 2011

makalah perawi hadits dan thabaqah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits dan Sunnah baik secara struktural maupun fugsional disepakati oleh mayoritas muslim dari berbagai Mazhab, sebagai sumber ajaran Islam karena dengan adanya Hadits dan sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci, dan sepesifik. Sepanjang sejarahnya Hadits-Hadits yang tercantum dalam berbagai kitab Hadits yang ada telah melalui peroses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan kualitas Hadits yang diinginkan oleh para penghimpunnya.
Untuk megetahui Hadits-Hadits yang benar-benar berkualitas dan dapat dipercaya maka tidak terlepas dari persoalan siapa perawinya kemudian dari mana mereka mendapatkan Hadits bahkan sampai kepada bagaimana cara mereka meriwayatkan Hadits. Kemudian untuk membedakan generasi dan tingkatan di kalangan Muhadditsin, ulama memberikan istilah Thabaqah. Hal ini juga difungsikan untuk menghindari beberapa kesalahan di dalam periwayatan Hadits.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah yang sederhana ini kami mencoba untuk mengulas tentang Ma’rifatu Tawariihi al-Riwaah wa Ma’rifatu al-Thabaqah. Sedangkan pembahasannya meliputi:
a. Pengertian Tawarih
b. Riwayat Hidup Tokoh-Tokoh Hadits
c. Pengertian Thabaqah








BAB II
PEMBAHASAN
معرفة تواريح الرواة, ومعرفة الطبقة
A. TAWARIH
Menurut bahasa, thawarikh adalah bentuk jamak dari tarikh, yang artinya adalah sejarah. Sedangkan menurut istilah, tawarikh adalah pengetahuan mengenai waktu yang merekam kondisi rawi, baik kelahirannya, kematiannya, berbagai kejadian yang dialaminya dan lain-lain yang berhubungan dengan perawi .
Menurut Muhadditsin tarikh adalah pengetahuan tentang waktu yang erat kaitannya dengan kelahiran dan kematian seseorang beserta peristiwa-peristiwa yang mempunyai nilai penting, yang terjadi sepanjang waktu itu, yang darinya tersirat sejumlah pelajaran yang bisa digunakan untuk melakukan ta’dil.
Tema ini merupakan pondasi bagi kajian historis para rawi, karena ia berpijak pada peristiwa-peristiwa yang dialami para rawi sepanjang hidup mereka. bagi ahli Hadits sejarah memiliki kedudukan yang teramat penting untuk mengetahui sejauh mana bersambung dan terputusnya suatu sanad untuk mengungkap karakteristik para rawi serta menyingkap tabir para pendusta.
Sufyan al-Tsauri berkata, “Ketika para perawi banyak melakukan dusta, maka kami mengantisipasinya dengan menggunakan sejarah.” Hafsh bin Ghiyats berkata, “Bila kamu menemukan suatu kecurigaan pada seorang rawi, maka perhitungkanlah ia dengan tahun.” yakni hitunglah umurnya dan umur orang yang ia riwayatkan.
‘Arif bin Midan al-Kala’i berkata, “Suatu hari datang kepadaku Umar bin Musa Hims, lalu kami berkumpul di masjid. kemudian ia berkata, “Telah meriwayatkan Hadits kepadaku gurumu yang saleh.” setelah ia berbicara banyak, maka saya bertanya kepadanya, “Siapa yang anda maksud sebagai guru kami yang saleh itu? sebutkan namanya agar kami mengetahuinya!” “Namanya adalah Khalid bin Mi’dan,” jawabnya. Aku bertanya lagi, “Tahun berapa anda bertemu dengannya?” “Pada tahun 108 H.” “Di mana anda bertemu?” desakku. “Di pegunungan Armenia.” kemudian aku berkata, “Bertakwalah kepada Allah wahai Syekh! Dan jangan berdusta. Khalid bin Mi’dan itu telah wafat pada tahun 104 H, dan anda mengaku bertemu dengannya empat tahun setelah ia wafat.””.
Al-Hakim berkata, “Ketika datang kepada kami Muhammad bin Hatim al-Kasysyi dan meriwayatkan kepadaku sebuah Hadits dari ‘Abd bin Humaid, maka kutanyakan kepadanya tahun kelahiran orang itu. Ia menjawab, bahwa Abd lahir pada tahun 260 H. Kemudian kukatakan kepada murid-muridku bahwa syekh ini mendengar Hadits dari ‘Abd bin Humaid tiga belas tahun setelah ia meninggal”.
Abu Khalid al-Saqa pada tahun 209 H mengaku mendengar Hadits dari Anas bin Malik dan melihat Abdullah bin Umar. Abu Nu’aim berkata padanya heran, “Waktu itu berapa tahun umurnya?” “Berumur 125 tahun.” jawabnya. Abu Nu’aim berkata, “Sesuai dengan pengakuannya, Ibnu Umar telah wafat lima tahun sebelum Abu Khalid sendiri lahir.”
Oleh Karena itu para ulama menekankan kepada penuntut ilmu Hadits agar terlebih dahulu menguasai sejarah dan mengetahui tahun wafatnya para guru Hadits, mengingat ini termasuk cabang ilmu Hadits yang paling penting. Lebih-lebih yang berkaitan dengan Rasulullah saw., para sahabat senior, dan para tokoh agama. Dengan demikian, maka tidak seorang muslim pun layak mengabaikannya, apalagi para penuntut ilmu Hadits .
B. TOKOH-TOKOH HADITS
Terdapat banyak sekali tokoh-tokoh Hadits atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam-Imam Hadits. Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah dua dari sekian banyak Imam yang meriwayatkan Hadits.
1. Imam Bukhari
• Riwayat Hidupnya
Imam Bukhari adalah Muhamad bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi Al-Bukhari. Ju’fi adalah nama suatu daerah di negeri Yaman, di mana kakek Imam Bukhari adalah seorang tokoh Islam yang disegani di daerah itu. Imam Al-Bukhari dilahirkan pada hari jum’at malam tanggal 13 Syawal 194 H dalam sebuah keluarga yang diberkahi dan berhias ilmu dan taqwa. Ayahnya bernama Ismail. Imam Al-Dzahabi berkata, “Bahwa Ismail, ayah Imam Al-Bukhari adalah seorang ulama yang alim dan cendikiawan yang wara’i.”.
Imam Al-Bukhari telah menuntut ilmu kepada ahli-ahli Hadits yang populer pada masa itu di berbagai Negara, yaitu Hizam, Syam, Mesir, dan Irak. beliau meninggal pada malam selasa tahun 255 H. dalam usia 62 tahun kurang 13 hari dengan tidak meninggalkan seorang anak pun.
• Kitab Shahihnya
Kitab Shahih Al-Bukhari telah memperoleh penghargaan tinggi dari ulama. Terhadap kitab ini mereka telah memberikan pernyataan bahwa, Shahih Al-Bukhari adalah kitab yang paling shahih setelah Al-Qur’an. Judul lengkap kitab ini sebagaimana yang telah disebutkan oleh Imam Al-Bukhari sendiri Adalah “Al-Jami’u Al-Shahihu Al-Musnadu Al-Mukhtasharu min Hadiitsi Rasulillahi wa Sunanihi wa Ayyaamini” .
2. Imam Muslim
• Riwayat Hidupnya
Nama lengkapnya ialah Abu Al-Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Quraisyi Al-Naitsaburi. Dia adalah salah seorang di antara panji-panji ahli Hadits yang berkedudukan sebagai Imam, Hafidz, dan kuat posisinya.
Menurut Al-Hafidz Ibnu Al-Ba’i di dalam kitabnya “Ulamau Al-Anshari”, bahwa Imam Muslim dilahirkan di Naitsabur pada tahun 206 H dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga berpendidikan yang haus akan ilmu Hadits. Akibat karakter yang terbentuk dalam lingkungan keluarga yang demikian itu, telah mendorongnya menunut ilmu kepada guru-guru yang memiliki nama besar di Negara-negara Islam. Di Khurasan (Iran), dia mendengar Hadits dari Yahya dan Ishak bin Rahuya. Di Rayyi, dia mengambil Hadits dari Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah. Dan di Hijaz, dia mengambil Hadits dari Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya.
• Kitab Shahihnya
Kitab karya Imam Muslim ialah berjudul “Al-Jami’u Al-Shahih”. Kitab ini merupakan kitab yang popular di seluruh dunia dan namanya dikenal di mana-mana. Dalam menyusun kitabnya itu, Imam Muslim menghabiskan waktu 15 tahun. Dan di dalam kitabnya itu beliau menghimpun sebanyak 12.000 Hadits yang diseleksinya dari 300.000 Hadits .
C. THABAQAT
Thabaqat menurut bahasa ialah suatu kaum yang memiliki kesamaan dalam suatu sifat. Sedangkan menurut Muhadditsin ialah :
الطّبقة هي القوم المتعارضون اذا تشابهوا فى السّنّ وفى الاسناد (اي الاخذ عن المشايخ)

Thabaqah adalah suatu kaum yang hidup dalam satu masa dan memiliki keserupaan dalam umur dan sanad, yakni pengambilan Hadits dari para guru .
Seperti halnya tarikh, thabaqat juga adalah bagian dari disiplin ilmu Hadits yang berkenaan dengan keadaan perawi Hadits. Namun keadaan yang dimaksud dalam ilmu thabaqat adalah keadaan yang berupa persamaan para perawi dalam sebuah urusan. Adapun urusan yang dimaksud, antara lain:
a. Bersamaan hidup dalam satu masa.
b. Bersamaan tentang umur.
c. Bersamaan tentang menerima hadits dari syaikh-syaikhnya.
d. Bersamaan tentang bertemu dengan syaikh-syaikhnya .
Kadangkala para Muhadditsin menganggap bahwa kebersamaan dalam menimba ilmu Hadits adalah cukup bisa dikatakan satu thabaqah. Sebab pada umumnya mereka memiliki kesamaan dalam umur.
Peneliti dan pengamat ilmu Hadits sangat dituntut untuk mengetahui tahun kelahiran dan kematian setiap rawi, murid-muridnya, dan guru-gurunya.
Kategoresasi bagi seorang rawi dalam suatu thabaqah bisa berbeda-beda, bergantung pada segi penilaian dan hal-hal yang mendasari kategorisasinya. Oleh karena itu, seringkali dua orang rawi dianggap berada dalam satu thabaqah karena memiliki kesamaan dalam satu segi, dan dianggap berada dalam thabaqah yang berlainan karena tidak memiliki kesamaan dalam segi lainya.
Anas bin Malik Al-Anshari beserta sahabat junior lain akan berada di bawah sekian thabaqah Abu Bakar dan sejumlah sahabat senior, bila dilihat dari segi waktu mereka masuk Islam, namun mereka dapat dianggap berada dalam satu thabaqah bila dilihat dari kesamaan mereka sebagai sahabat Nabi saw. Dengan demikian, seluruh sahabat adalah tabaqah rawi yang pertama, tabi’in menempati thabaqah kedua, atba’ al-tabi’in thabaqah yang ketiga, atba’ atba’ al-tabi’in thabaqah keempat, dan atba’ atba’ atba’ al-tabi’in thabaqah kelima. Kelima thabaqah ini adalah thabaqah para rawi sampai turun ketiga, yakni akhir masa periwayatan .
Thabaqat juga bisa dijelaskan dengan pandangan-pandangan berikut:
a. Sahabat-sahabat, kalau kita pandang sahabat-sahabat dari urusan persahabatan mereka dengan Nabi saw. saja, dengan tidak memandang pada urusan lain, maka mereka itu semuanya teranggap satu thabaqah.
b. Sahabat ini juga, jika ditinjau dari urusan atau hal lain, maka mereka dibagi menjadi 12 thabaqat:
• Thabaqah I :Sahabat-sahabat yang masuk Islam paling awal di Mekah, seperti: Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib.
• Thabaqah II :Sahabat-sahabat yang masuk Islam sebelum orang-orang Quraisy bermusyawarah di Darun Nadwah.
• Thabaqah III :Sahabat-sahabat yang berhijrah ke Habasyah, seperti: Utsman, Abu Hurairah, Utbah, dan lainnya.
• Thabaqah IV :Sahabat-sahabat yang ikut berbai’at di Aqabah yang pertama, seperti: Ubadah bin Shamit dan lainnya.
• Thabaqah V :Sahabat-sahabat yang berbai’at di Aqabah yang kedua, seperti: Sa’ad bin Ubadah, Abdullah bin Rawahah, Rafi bin Malik dan lainya.
• Thabaqah VI :Sahabat-sahabat Muhajirin yang pertama sampai di Quba’, sebelum masuk Madinah.
• Thabaqah VII :Sahabat-sahabat yang terlibat dalam perang Badar, seperti: Abu Zaid, Ubadah bin Shamit, Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabah dan lainnya.
• Thabaqah VIII :Sahabat-sahabat yang hijrah ke Madinah.
• Thabqah IX :Sahabat-sahabat yang berbai’at di Bait al-Ridwan di Hudaibiah, seperti: Salamah bin Akwa dan Abu Sinan al-Asadi.
• Thabaqah X :Sahabat-sahabat yang berhijrah ke Madinah sesudah perjanjian Hudaibiah, seperti: Khalid bin Walid dan Amr bin Ash.
• Thabaqah XI :Sahabat-sahabat yang masuk Islam di masa penaklukan Mekah, seperti: Harits bin Hisyam dan Utsman bin Amr.
• Thabaqah XII :Anak-anak yang melihat Nabi SAW pada hari penaklukan Mekah, pada hari Haji Wada’, dan lainnya.
c. Tabi’in, kalau dilihat dari urusan mereka sebagai pengikut sahabat-sahabat Nabi saw. dengan tidak memandang pada urusan atau hal lainnya, maka mereka adalah satu thabaqah.
Mengenai thabaqat sahabat, selain dari dua belas pembagian yang telah tersebut sebelumnya, thabaqat ini juga bisa dibagi kedalam tiga bagian apabila memandang dari segi sering berkumpulnya mereka dengan Nabi saw. dan banyaknya mereka meriwayatkan hadits dari beliau saw., yaitu:
1. Kibarush Shahabat artinya sahabat-sahabat yang besar, yaitu sahabat-sahabat yang banyak berkumpul dengan Nabi saw. dan banyak meriwayatkan hadits dari beliau saw., seperti: Hanzalah bin Abi Amir al-Anshari, Abu Aiyub, Ubai bin Ka’ab, dan lainnya.
2. Ausatush Shahabat, artinya sahabat-sahabat yang pertengahan, yaitu mereka yang tidak begitu sering berkumpul dengan Nabi saw. dan tidak banyak meriwayatkan hadits dari beliau saw.
3. Shigarush Shahabat artinya sahabat-sahabat yang kecil, yaitu mereka yang sedikit sekali berkumpul dengan Nabi saw. dan sedikit meriwayatkan hadits dari beliau saw., seperti: Abdullah bin Hanzalah, Anas bin Malik, As-Saib bin Yazid, Shafiyah binti Syaibah, dan lainnya .























BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Tawarikh adalah pengetahuan mengenai waktu yang merekam kondisi rawi, baik kelahirannya, kematiannya, berbagai kejadian yang dialaminya dan lain-lain yang berhubungan dengan perawi. Ulama menekankan kepada penuntut ilmu Hadits agar terlebih dahulu menguasai sejarah dan mengetahui tahun wafatnya para guru Hadits, mengingat ini termasuk cabang ilmu Hadits yang paling penting. Lebih-lebih yang berkaitan dengan Rasulullah saw., para sahabat senior, dan para tokoh agama. Dengan demikian, maka tidak seorang muslim pun layak mengabaikannya, apalagi para penuntut ilmu Hadits.
Seperti halnya tarikh, thabaqat juga adalah bagian dari disiplin ilmu Hadits yang berkenaan dengan keadaan perawi Hadits. Namun keadaan yang dimaksud dalam ilmu thabaqat adalah keadaan yang berupa persamaan para perawi dalam sebuah urusan. Adapun urusan yang dimaksud, antara lain:
a. Bersamaan hidup dalam satu masa.
b. Bersamaan tentang umur.
c. Bersamaan tentang menerima hadits dari syaikh-syaikhnya.
d. Bersamaan tentang bertemu dengan syaikh-syaikhnya.











DAFTAR PUSTAKA

Thahan, Muhamad. Ilmu Hadits Praktis. Pustaka Thariqul Izzah. Bogor 2005
Nuruddin. ‘Ulum Al-Hadits. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung 1995
Al-Maliki, M. Alawi. Ilmu Ushul Hadits. Pustaka Pelajar. Jogjakarta 2006
http://kallolougi.blogspot.com/2010/07/tarikh-dan-thabaqat.html