Selasa, 26 April 2011

Al-Mashlahatul-Mursalah.

Al-Mashlahatul-Mursalah.



















BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang.

Pembentukan hukum berdasarkan Al-Mashlahatul-Mursalah semata-mata dimaksudkan untuk mencari kemaslahatan manusia. Maksudnya, didalam rangka mencari yang menguntungkan, dan menghindari kemudharatan manusia yang bersifat sangat luas.

B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang kami bahas dalam makalah ini adalah:
1. Definisi Al-Mashlahatul-Mursalah.
2. Dalil-dalil Ulama Yang memakai Al-Maslahah Al-Mursalah.
3. Beberpa Contoh Maslahah Mursalah.
4. Syarat-Syarat Untuk Bisa Dipakai Hujjah

BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi Al-Mashlahatul-Mursalah.

Al-Mashlahatul-Mursalah (Maslahah mursalah) ialah yang mutlak. Menurut istilah ahli Ushul, maslahah mursalah diartikan kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syar’i dalam wujud hukum dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak ada dalil yang membenarkan atau yang menyalahkan. Karenanya maslahah mursalah itu disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang mnyatakan benar atau salah.
Misalnya, kemaslahatan yang diambil para sahabat dalam mensyariatkan adanya penjara (bui), dicetaknya mata uang, dan masih banyak hal lagi yang diadakan berdasarkan kebutuhan, keadaan dan kebaikan yang belum ada syariat hukumnya, disamping tidak adanya hukum syara’ yang membenarkan atau menyalahkan.
Berdasar pada pengertian tersebut, pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini semata-mata dimaksudkan untuk mencari kemaslahatan manusia. Maksudnya, didalam rangka mencari yang menguntungkan, dan menghindari kemudharatan manusia yang bersifat sangat luas. Maslahat ini merupakan sesuatu yang berkembang berdasarkan perkembangan yang selalu ada disetiap lingkungan. Mengenai pembentukan hukum ini, kadang-kadang tampak menguntungkan pada suatu saat, tetapi pada suatu saat yang lain justru mendatangkan mudharat . begitu pula pada suatu lingkungan tertentu mnguntunkan, tetapi mudharat bagi lingkungan lain. Kemudian, mengenai maslahah yang dituntut oleh keadaan dan lingkungan baru setelah berhentinya wahyu, sementara syari’ belum mensyariatkan maslahah-maslahah yang dikehendaki berdasar tuntutan itu, disamping juga tidak terdapat dalil syara’ yang mengakui atau menyalahkan maslahah-naslahah itu, biasa disebut sebagai Al-Munasibul-Mursal atau Al-Maslahatul-mursalah. Misalnya, maslahah tentang kehendak adanya pernikahan tanpa pengakuan secara resmi, dengan demikian pengingkaran terhadap perkawinan itu tidak dapat diterima. Contoh lain, yaitu adanya transakai jual beli yang tak tercatat, tidak bisa dipakai dasar pemindahan hak berdasar maslahah. Conroh-contoh tersebut, hukumnya tidak disyariatkan oleh syari’,dan tidak terdapat dalil-dalil yang memberikan I’tibar atu pembatalan terhadap maslahah-maslahah itu, itulah yang disebut sebagai AlMslahatul-Mursalah .

2. Dalil-dalil Ulama Yang memakai Al-Maslahah Al-Mursalah.
Jumhur Ulama mengajukan pendapat bahwa maslahah mursalah merupakan hujjah syariat yang dijadikan metode pembentukan hukum mengenai kejadian atau masalah yang hukumnya tidak ada dalam nash, ijma’, qiyas, atau ihtisan, maka disyariatkan dengan menggunakan maslahah mursalah.
Dalil yang dipakai ualma tersebut ialah:
a. kemaslahatan umat manusia secara lestari, sifatnya selalu aktual. Karena itu, jika tidak ada syariat hukum yang berdasarkan masalah mursalah yang berkenaan dengan masalah baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan, maka pembentukan hukum akan terkunci berdasar maslahah yang mendapatkan pengakuan syari’. Dengan demikian, kemaslahatan yang dibutuhkan umat manusia disetiap masa dan tempat menjadi terabaikan. Berarti pembentukan hukum tidak mengikuti atau tidak melihat perkembangan kemaslahatan umat manusia. Hal ini tidak cocok dan tidak sesuai dengan maksud syariat yang selalu ingin mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.
b. Orang-orang yang menyelidiki pembentukan hukum yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in dan para mujtahid, akan tampak bahwa mereka telah mensyariatkan aneka ragam hukum dalam mencari kemaslahatan dan bukan lantaran adanya pengakuan sebagai saksi. Misalnya, Abu Bakar melakukan pengumpulan lembaran-lembaran tulisan Al-Quran yang berserakan, memerangi pembngkang pembayaran zakat, dan mengusulkan pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah pengganti Abu Bakar. Umar juga demikian, ia mengucapkan telak tiga walau dengan ucapan kalimat satu kali. Umar juga menghentikan pembagian zakat lepada kaum mu’allaf, menetapkan pembayaran pajak, mengadakan tertib administrasi, pembangunan rumah-rumah tahanan dan menghapuskan hukuman penggal tangan bagi pencuri ketika musim paceklik. Sedangkan yang dilakukan Utsman ialah, mempersatukan umat islam dengan satu mushaf dan membakar seluruh mushaf lainnya, disamping menyebarkan mushaf yang satu itu ke berbagai Negara, serta menetapkan penerimaan harta waris bagi istri yang ditelak lantran maksud menghindari jatuhnya harta waris kepadanya. Ali bahkan pernah membakar para penghianat dari kaum Syi’ah-Rafidhah. Ulama Hanafiah melarang seorang Mufti yang bercanda, melarang praktik tatib yang tidak mampu, dan melarang orang kaya yang sedang susah dalam mengelola hartanya. Kaum Malikiah memperkenankan penahanan terhadap orang yang dituduh bersalah, disamping memberi hukum agar ia mengakui kesalahannya. Ulama Syafi’iyah menjatuhkan hukuman qishash bagi gerombolan yang membunuh satu orang manusia.
Kemaslahatan yang menjadi tujuan pensyariatan hukum ini, disebut sebagai maslahah mursalah. Para Ulama mendasarkan pada maslahah dalam mensyariatkan hukum ini lantaran mengandung maslahah, disamping tidak adanya dalil syara’ yang menyalahkannya. Namun demikian, dalam pembentukan hukum itu, mereka tidak semata-mata memandang dari segi maslahah, tetapi lantaran adanya syara’ yang membenarkannya. Imam Al-Ghozali mengatakan, “Para sahabat telah melakukan berbagai hal dengan acuan segi maslahah mursalahnya, bukan karena adanya pengakuan atau pembuktian”. Ibnu Aqil juga mengatakan, “Siasah yaitu setiap tindakan yang mengantarkan manusia lebih dekat dengan kebaikan, dan menjauh dari mafsadah”. Walaupun Rasul tidak menetapkan, atau wahyu tidak ada yang turun berkenaan dengan hal-hal tertentu .

3. Beberpa Contoh Maslahah Mursalah.
Banyak sekali hukum peraturan yang ditetapkan dengan pertimbangan maslahat, walaupun didalam nash tidak diatur secara tegas, yang berlaku di Indonesia ntara lain:
- Kompilasi hukum Islam, yang belaku pada Pengadilan Agama di Indonesia menetapkan adanya harta gunu-gini (perpantangan) dalam sebuah keluarga antara suami dan isteri, sehingga siapapun yang meninggal lebih dahulu (suami atau istri), maka harta yang dimiliki sebagai gunu-gini dibagi dua terlebih dahulu, satu bagian untuk yang belum meninggal (suami atau isteri), yang sebagian hartanya lagi dijadikan warisan. Hal ini ditetapkan demi kemaslahatan.
- Pemerintah memandang sah apabila pernikahan dilakukan melalui KUA dan memiliki surat nikah dari KUA, sebaliknya memandang tidak sah kalau dilakukan secara sirri. Hal ini ditetapkan untuk kemaslahatan.
- Majelis Ulama Indonesia mengharamkan kawin beda agama, begitu juga KUA tidak bisa menikahkan bagi umat islam yang kawin dengan orang non muslim. Ini ditetapkan juga mempertimbangkan maslahat .

4. Syarat-Syarat Untuk Bisa Dipakai Hujjah.

Ulama Malikiyah dam Hanabilah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqih yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam syathibi mengatakan bahwa keberadan dan kualitas maslahah mursalah itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni (relatif).
Misalnya Rasulallah saw. Bersabda:

غَلاَََََ السِّعْرُ فِى المَدِيْنَةِ عَلى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فََقَالَ النَّاسُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ غَلا السِّعْرُ فَسَعِّرْ لَنَا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ اللهَ هُوَ المُسَعِّرُ القَابِِِضُ الرَّازِقُ اِنِّى لارْجُوْ اَنْ اُلْقِيَ اللهَ وَلَيْسَ اَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلا مَالٍ۰
Dari Annas ibn Malik ra. dia berkata bahwa telah melonjak harga di (pasar) Madinah pada masa Rasulullah saw. Masyarakat ketika itu berkata kepada Rasulullah saw. “Ya Rasulallah, harga telah naik, maka tentukanlah itu bagi kami”. Rasulullah saw. menjawab, “Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga itu, ia yang menguasai, melapangkan dan memberi rezeki , saya tidak berharap ketika menemui Allah (Berbuat Zalim), dan tidak ada satu orangpun dari kalian yang dapat menuntut saya membuat kezaliman dalam masalah jiwa dan harta.” (H.R. Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Timrizi, Ibn Majah, dan Ibn Hibban).
Ulama Malikiyah dan hanabilah mengataka bahwa hadits rasulullah tersebut berlaku apabila komoditi sedikit sedangkan permintaan meningkat, sehingga kenaikan harga adalah wajar. Akan tetapi, apabila kenaikan harga barang itu bukan karena sedikitnya komoditi, tetapi oleh ulah para pedagang sendiri, maka ulama Malikiyah dan Hanabilah membolehkan pihak pemerintah campur tangan dalam menetapkan harga, dengan pertimbangan untuk kemaslahtan para konsumen.
Untuk bisa menjadilan Al-maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama malikiyah dan hanabilah mensyaratkn tiga syarat, yaitu:
1. Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termauk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.
2. Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan maslahah mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.
3. Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqihnya membahas permasalahan Maslahah Al-Mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan Al-Ghazali terhadap permasalahan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistimbatkan hukum, yaitu:
1. Maslahah itu sejenis dengan tindakan-tindakan syara’.
2. Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’.
3. Maslahah itu termasuk kedalam kategori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang .
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Maslahah Mursalah merupakan hujjah syariat yang dijadikan metode pembentukan hukum mengenai kejadian atau masalah yang hukumnya tidak ada dalam Nash, Ijma’, Qiyas, atau Ihtisan, maka disyariatkan dengan menggunakan Maslahah Mursalah.
Dengan adanya Mashlahah Mursalah, hukum yang ada di dalam Islam dapat terus berkembang dan tidak terkunci. Hal ini mempermudah umat manusia untuk menjalani hidup dengan baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

KhallaF, Abdul Wahhab, 1968, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press.
Hayat, Abdul, 2006, Ilmu Ushul Fiqih Dasar-dasar Memahami Fiqh Islam, Bajarmasin.
Harun, Nasrun, 1996, Ushul Fiqh ,ciputat: P.T. Logos Wacana Ilmu.

pembahasan ushul fikih

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sehubungan dengan adanya diskusi yang dilaksanakan setiap kali pertemuan, kami mencoba untuk membuat ringkasan dari materi-materi yang disampaikan. Kami mencoba untuk memaparkan kembali materi-materi tersebut ke dalam bentuk yang lebih sederhana, hal ini juga menjadi salah satu bukti sampai di mana tingkat pemahaman dan penguasaan kami terhadap materi yang disampaikam melalui diskusi tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami mencoba untuk mengulas tentang masalah:
A. Ushul fiqh
B. Dalil-dalil syariah yang disepakati
C. Dalil-dalil yang diperselisihkan
D. Pembagian hukum syara’
E. Pembuat hukum (syari)
F. Mahkum ‘alaih
G. Mahkum fih
H. Maqashidul Syari’ah
I. Istinbath Hukum Islam
J. Mafhum Mukhalafah


BAB II
PEMBAHASAN

A. USHUL FIQH
Secara bahasa ushul bererti asal-muasal, sedangkan fiqh adalah hukum-hukum, ushul fiqh secara bahasa berarti asal-muasal hukum. Ushul fiqh ditinjau secara ishtilah berarti pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sebagai acuan dalam penetapan hukum syari’at mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terinci.
Obyek pembahasan ilmu fiqh adalah perbuatan mukallaf (muslim yang telah baligh) dilihat dari segi ketetapan hukum syari’at. Tujuan mempelajari ilmu fiqh adalah menerapkan hukum-hukum syari’at Islam atas seluruh tindakan dan ucapan manusia. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh adalah menerapkan kaidah-kaidah, teori dan pembahasan dalil-dalil secara terinci dalam rangka menghasilkan hukum syari’at Islam yang diambil dari dalil-dalil tersebut.
B. DALIL-DALIL SYARIAH YANG DISEPAKATI
1. AL-QUR’AN
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat jibril ke dalam kalbu Rasulullah saw. dengan menggunakan bahasa arab dan disertai dengan kebenaran agar dijadikan hujjah (penguat) dalam hal pengakuannya sebagai Rasul, dan agar dijadikan sebagai undang-undang bagi seluruh umat manusia, di samping merupakan amal ibadah jika membacanya.
Kehujjahan Al-Qur’an adalah hujjah bagi umat manusia, dan hukum-hukumnya merupakan undang-undang yang wajib dipatuhi, ialah karena Al-Qur’an diturunkan dari Allah secara qath’i dan kebenarannya tidak diragukan. Adapun alasan yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah ialah mukjizat Al-Qur’an yang mampu menundukan manusia, sehingga tidak mampu menirunya.
Di dalam Al-Qur’an terdapat tiga hukum yang terkandung, pertama Ahkam I’tiqadiyah atau hukum-hukum kaidah, kedua Ahkam Khuluqiyah atau hukum-hukum akhlak, ketiga Ahkam Amaliyah atau hukum-hukum amal.
2. AS-SUNNAH
Menurut istilah syara’ Sunnah ialah sesuatu yang datang dari Rasulullah saw. Baik ucapan, perbuatan atau taqrir (persetujuan). As-Sunnah al-qauliyah ialah hadits-hadits Rasulullah saw. yang berupa ucapan di dalam berbagai tujuan dan permasalahan. As-Sunnah al-fi’liyah adalah perbuatan Rasulullah saw, seperti shalatnya rasul yang dilengkapi dengan kaifiah-nya dan rukun-rukunnya. As-Sunnah at-taqririyah adalah perbuatan beberapa sahabat Nabi yang disetujui oleh Rasulullah saw.
Umat Islam sepakat bahwa apa saja yang datang dari Rasulullah saw. baik ucapan, perbuatan, dan taqrir, membentuk suatu hukum atau tuntutan yang disampaikan kepada kita dengan sanad shahih dan mendatangkan yang qath’i atau dzanni. Karenanya, dengan kebenaran itu sebagai hujjah bagi umat Islam dan sebagai sumber pembentukan hukum Islam yang oleh para mujtahid dijadikan sebagai rujukan istinbat dan hukum-hukum syari’at bagi mukallaf.dengan kata lain, hukum-hukum yang ada pada As-Sunnah adalah hukum-hukum yang ada pada Al-Qur’an, sebagai peraturan perundangan yang harus ditaati.
Firman alllah:
من يطع الرسول فقد اطاع الله...
قل اطيعوا الله والرسول..
Adapun peran Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1. Adakalanya sunnah berperan sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur’an.
2. Adakalanya sunnah berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang yang disebut secara mujmal (umum) di dalam Al-Qur’an.
3. Adakalanya sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak disebutkan di dalam nash Al-Qur’an.
3. IJMA’
Menurut istilah ahli ushul, ijma’ ialah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian. Karenanya jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan pada seluruh imam mujtahid umat Islam pada waktu itu, kemudian mereka sepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut, maka kesepakatan mereka itu disebut sebagai ijma’.
Ada empat syarat agar ijma’ dapat terwujud. Pertama, adanya sejumlah mujtahid ketika terjadinya suatu peristiwa lantaran kesepakatan tidak mungkin terjadi tanpa adanya beberapa pandangan atau pendapat yang masing-masing dapat kesesuaian. Kedua, bila ada kesepakatan para mujtahid di kalangan umat Islam terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian pada saat terjadinya, tanpa memandang negeri, kebangsaan atau kelompok mereka. Ketiga, kesepakatan para mujtahid itu diringi dengan pendapat mereka masing-masing secara jelas mengenai suatu kejadian. Keempat, kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum. Jika keempat unsur itu dapat berjalan dengan baik, maka hukum-hukum yang disepakati itu menjadi undang-undang syara’ yang wajib dipatuhi, dan hukum ijma’ tidak boleh ditentang atau dihapuskan.
Ijma’ terbagi menjadi dua, pertama ijma’ sharih, atinya kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap hukum suatu kejadian atau peristiwa dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau dengan memberi keputusan. Kedua ijma’ sukuty, yang artinya sebagian mujtahid pada suatu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan, dan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya.
4. AL-QIYAS
Menurut ulama’ ushul, al-qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya) hukumnya.
Setiap qiyas terdiri dari empat rukun, yaitu:
1. Al-ashl, ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash.
2. Al-far’u, ialah sesuatu yang hukumnya tidak terdapat di dalam nash.
3. Hukmu ‘l-ash, ialah hukum syara’yang terdapat nashnya menurut al-ashl, dan dipakai sebagai hukum asal bagi cabang (al-far’u).
4. Al-illat, ialah keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-far’u itu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa qiyas adalah hujah syar’iyyah terhadap hukum-hukum syara’ tentang tindakan manusia. Al-qiyas menempati urutan keempat di antara hujjah syar’iyyah yang ada dengan catatan, jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasar nash atau ijma’.
C. DALIL-DALIL YANG DIPERSELISIHKAN
1. ISTIHSAN
Secara ethimologi, istihsan berarti menganggap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah ulama’ ushul, istihsan ialah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan kias jali (nyata) kepada kias khafi (samar), atau dari dalil kully kepada hukum takhshis lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan kepribadian hukum.
Adapun yang menggunakan istihsan sebagai hujjah kebanyakan dari ulama’ Hanafiyah. Alasan mereka adalah bahwa istidlal dengan jalan istihsan hanya merupakan istidlal dengan qiyas khafi yang dimenangkan atau diutamakan dari qiyas jali.
Ada sebagian mujtahid yang menolak tentang kehujjahan istihsan, diantaranya adalah imam Syafi’i yang mengatakan bahwa “Siapapun yang menggunakan istihsan berarti tidak menggunakan syari’at”. Maksudnya orang itu membuat hukum syari’at sendiri.
2. AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH
Al-mashlahah al-mursalah berarti mutlak, menurut istilah ahli ushul diartikan kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syari’ dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di samping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan. Karenanya maslahah mursalah itu disebut mutlak lantaran tidak terdapat dalil yang menyatakan benar atau salah.
Untuk menjadikan mashlahah mursalah sebagai hujjah ditentukan beberapa syarat, yaitu:
• Harus benar-benar membuahkan mashlahah atau tidak mengada-ada.
• Mashlahah itu bersifat umum, bukan perorangan.
• Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan tidak berlawanan dengan tata hukum atau dasar ketetapan nash dan ijma’.
3. ISTISHAB
Secara bahasa istishab berarti pengakuan terhadap hubungan pernikahan, sedangkan menurut istilah ulama’ ushul ialah menetapkan sesuatu berdasar keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan itu atau menetapkan hukum yang ditetapkan pada masa lalu secara abadi berdasarkan keadaan, hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan.
Istishab merupakan dalil syara’ terahir yang dipakai mujtahid sebagai hujjah untuk mengetahui hukum suatu kejadian yang dihadapkan kepadanya. Istishab menetapkan dasar syari’ah sebagai berikut:
• Asal sesuatu itu merupakan ketetapan terhadap sesuatu yang sudah ada berdasar keadaan semula, hingga adanya ketetapan yang merubahnya.
• Asal sesuatu itu adalah mubah.
• Apa-apa yang sudah tetap berdasar keyakinan, tidak akan hilang karena ragu-ragu.
• Asal yang ada pada manusia itu adalah kebebasan.
4. AL-‘URF
Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut sebagai adat. Menurut ahli syara’ urf bermakna adat. Dengan kata lain urf dan adat itu tidak ada perbedaannya.
Urf terbagi menjadi dua, yaitu urf shahih, artinya segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia dan tidak berlawanan dengan hukum syara’, serta tidak menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban., dan urf fasid, artinya segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan syara’.
Untuk urf shahih haruslah dilestarikan dalam rangka pembentukan hukum dalam proses peradilan. Sedangkan urf fasid tidak boleh dipelihara dan dilestarikan. Sebab pemeliharaan terhadap urf fasid berarti menentang hukum syara’, atau membatalkan ketentuan syara’.
5. SYAR’UN MAN QABLANA
Jika Al-Qur’an dan As-Sunnah yang benar itu mengisahkan syari’at atau hukum-hukum syara’ bagi umat sebelum kita, maka hal itu tidak terdapat perbedaan bahwa syari’at itu merupakan syari’at dan undang-undang yang wajib ditaati dengan menetapkan sebagai syari’at.
Misalnya firman Allah yang berbunyi:
 ( البقرة : ۱۸۳ )
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (al-Baqarah : 183)
Jika Al-Qur’an dan al-sunnah telah mengisahkan hukum-hukum itu, dan terdapat nash yang menghapus berlakunya, juga tidak ada perbedaan mengenai hal itu bukanlah merupakan syari’at untuk kita berdasarkan dalil yang menghapuskannya. Misalnya syari’at yang diwajibkan kepada Nabi Musa dan ummatnya, bahwa manusia durjana tidak akan mendapatkan penebusan dosa, kecuali ia membunuh dirinya sendiri, banyak lagi hukum yang merupakan syari’at orang sebelum kita, tetapi telah dihapus berlakunya untuk kita.
6. SAD AL-DZARI’AH
Sad berarti penghalang, hambatan, atau sumbatan. Sedangkan dzariah berarti jalan. Maksudnya sad al-dzari’ah berarti upaya menghambat, menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kerusakan dan kemaksiatan. Contoh: menggali sumur di belakang pintu rumah di jalan yang gelap, sehingga menyebabkan orang yang akan masuk rumah terjatuh masuk ke dalam sumur tersebut.
Adapun kehujjahannya adalah berlandaskan kepada firman Allah yang berbunyi

Artinya: Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…(QS. Al-An’am : 108)
Di dalam ayat ini Allah melarang memaki sesembahan kaum musyrikin karena akan berdampak dengan pembalasan mreka dengan memaki Allah dengan melampaui batas.
D. PEMBAGIAN HUKUM SYARA’
Menurut istilah ulama’ fiqih, hukum syara’ ialah khitab (tuntunan) syar’i yang berkaitan dengan tindakan dan perbuatan mukalaf melalui perintah, pilihan atau ketetapan.
Hukum syara’ terbagi menjadi dua yaitu:
1. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah hukum yang menghendaki dikerjakan oleh mukallaf, baik merupakan larangan mengerjakan, atau memilih antara mengerjakan dan meninggalkan.
Contoh yang menurut mukallaf perlu dikerjakan. Firman Allah:

Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka…(QS. At-Tauba : 103)

Contoh hukum, yang mukallaf dituntut meninggalkannya, adalah firman Alah:

Artinya: … Janganlah suatu kaum mengolok-ngolokkan kaum yang lain…


Adapun macam-macam hukum taklifi adalah sebagai berikut:
a. Wajib
Menurut syara’ adalah suatu perbuatan mukallaf yang diperintahkan syari’ dengan perintah wajib, dengan ketentuan perintah itu harus dilakukan sesuai dengan petunjuk kewajiban melakukannya.
b. Al-Mandub (sunat)
Al-mandub menurut syara’ ialah perintah syar’i untuk dikerjakan mukallaf dengan perintah yang tidak pasti. Dengan kata lain sighat perintah syar’i itu tidak menunjukkan pengertian wajib.
c. Al-Muharram (haram)
Al-muharram ialah tuntutan syar’i untuk ditinggalkan secara pasti. Maksudnya sighat larangan itu sendiri menunjukkan larangan pasti.
d. Al-Makruh
Al-makruh ialah perintah syar’i kepada mukalaf agar tidak melakukan suatu perbuatan dengan larangan yang tidak pasti, lantaran sighatnya menunjukkan hal itu.
e. Al-Mubah
Al-mubah ialah suatu perbuatan yang syar’i memberikan pilihan kepada mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meningggalkan.
2. Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i adalah hukum yang menghendaki adanya sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain.
Contoh firman Allah SWT:

Artinya: Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya...(QS. Al-Maidah : 38)
Adanya pencurian sebagai sebab kewajiban memotong bagi pelaku pencurian.


E. PEMBUAT HUKUM (syari)
Ulama’ tidak berbeda pendapat mengenai sumber hukum syara’ bagi seluruh tindakan mekallaf, yaitu Allah SWT. Baik perbuatan itu sudah dijelaskan langsung oleh Allah melalui RasulNya, atau Allah memberikan petunjuk kepada mujtahid mengenai hukum perbuatan mukallaf dengan menggunakan dalil-dalil dan isyarat yang disyari’atkan untuk istinbat hukum. Karenanya mereka sepakat memberikan batasan tentang hukum syara’, ialah kitab Allah yang berkenan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan (perintah), takhyir (memilih), atau penetapan. Hal ini terkenal dalam ushul dengaistilah la hukma illa lillah.
Hal ini merupakan bukti kebenaran firman Alah:
(الانعام : ٥۷)
Artinya: ...Menetapkan hukum itu hanyalah khak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (QS. Al-An’am : 57)
F. MAHKUM ‘ALAIH
Al-mahkum ‘alaih adalah seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syari’.
Sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif (pembebanan), yakni ia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan Al-Qur’an dan al-sunnah baik yang lansung maupun yang melalui perantaraan. Akal juga menjadi syarat dalam pembebanan ini, maka barangsiapa yang telah mencapai kedewasaan tanpa menampakkan sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, berarti telah padanya kemampuan untuk diberi beban. Oleh karena itu orang gila, anak-anak, orang yang lupa, tidur dan mabuk, mereka tidak dikenakan beban hukum.
Sabda nabi saw.
من نام عن صلاة او نسيها فايصلّيها اذا ذكرها فانّ ذالك وقتها
Artinya: Barang siapa tidur sehingga tertinggal melakukan shalat atau lupa mengerjakanya, hendaklah ia mengerjakan shalat itu ketika ia ingat, karena sesungguhnya ketika ingat itulah waktu shalat.
G. MAHKUM FIH
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fiih adalah obyek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.
Sarat-syarat mahkum fih adalah sebagai berikut:
1. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan.
2. Perbuatan itu memungkinkan untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
Macam-macam mahkum fih
Para ulama ushul fiqih membagi mahkum fiih dari dua segi yaitu:
1. Dari segi keberadaannya secara material dan syara’, mahkum fiih terdiri atas:
• Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum.
• Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian dan pembunuhan.
• Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti sholat dan zakat.
• Perbuatan yang secara material ada dan diatur syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli dan sewa-menyewa.
2. Dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, mahkum fiih terdiri atas 4 bentuk yaitu:
• Semata-mata hal Allah, yaitu segala yang menyangkut kemaslahatan umum tanpa kecuali. Para ulama ushul fiqih membagi menjadi 8 macam antara lain:
• Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
• Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).
• Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih dominan didalamnya, seperti dalam masalah Qishash.
H. MAQASHIDUL SYARI’AH
Maqashidul Syari’ah adalah suatu hukum yang menjelaskan maksud syara’. Adapun tingkatan-tingkatan Maqashidul Syari’ah adalah sebagai berikut:
• Dharuri
Yakni perkara tersebut harus didahulukan dari yang lain.
• Haji
Yakni segala sesuatu yang dihayati oleh manusia.
• Tahsini
Yakni urusan-urusan yang mewujudkan keindahan, atau dapat juga disebut sebagai pelengkap.
Contoh:
Syara’ memerintahkan pemuda yang sudah mapan untuk menikah.
Di dalam perintah di atas dapat dilihat bahwa tujuan syara’ memerintahkan pemuda untuk menikah adalah untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan dari segi syahwat.
I. ISTINBATH HUKUM ISLAM
Secara etimologi istinbath berarti penemua, penggalian, pengeluaran (dari asal). Sedangkan hukum mempunyai arti peraturan dan kekuasan. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa istinbath hukum al-Qur’an adalah menemukan dan mengambil hukum dari al-Qur’an ataupun Sunnah.
Seseorang yang ingin mengistinbathkan atau mengambil hukum dari sumber-sunber tersebut harus betul-betul mengetahui bahasa arab dengan seluk beluknya. Untuk itu hal yang terpenting dalam mengistinbathkan hukum adalah kaidah lughawiyah, yang mencakup lafadz menurut makna yang dikandungnya, yaitu al-‘am dan al-khash.


J. MAFHUM MUKHALAFAH
Mafhum ialah sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz, tetapi bukan ucapan dari lafadz itu sendiri. Disebutkan juga dalam buku lain bahwa mafhum adalah implikasi suatu kata yang tidak pada tempatnya pada ketetapan hukum sesuatu yang telah disebutkan bagi sesuatu yang didiamkan atau tidak dikomentari atau pada penafian suatu hukum darinya.
Macam-macam mafhum mukhalafah:
• Mafhum sifat
• Mafhum ‘adad
• Mafhum ghayah
• Mafhum had
• Mafhum laqab
Syarat-syarat mafhum mukhalafah:
• Mafhum mukhlafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthuq maupun dalil muwafaqah.
• Manthuq (yang disebutkan) bukan hal yang biasa terjadi.
• Manthuq bukan dimaksudkan untuk menguatkan suatu keadaan.
• Manthuq harus berdiri sendiri. Tidak mengikuti kepada yang lain.













BAB III
PENUTUP

Demikianlah ringkasan-ringkasan materi yang dapat kami simpulkan. Sudah barang tentu dalam hal ini banyak sekali terdapat kekurangan dan kesalahan,oleh karena itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-berasnya kepada bapak Imam Alfiannor, MHI. Yang telah banyak menyampaikan pengetahuannya tentang ushul fiqih kepada kami, semoga Alah membalas jasa-jasanya dengan pahala yang berlipat, amin.

Senin, 25 April 2011

makalah bid'ah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah adalah kunci keselamatan dari terjerumusnya kepada bid’ah dan kesesatan. Maka barang siapa yang berpaling dari Al-Qur’an dan Sunnah pasti akan terbentur oleh jalan-jalan yang sesat dan bid’ah. Bid’ah adalah suatu kebodohan terhadap hukum-hukum Ad-Dien, semakin panjang zaman dan manusia berjalan menjauhi atsar-atsar risalah Islam, semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam :
Artinya: Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengambil (mencabut) ilmu dengan mencabutnya dari semua hamba-Nya akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada (tersisa) seorangpun ulamapun, maka manusia mangangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, mereka ditanya (permasalahan) lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu, akhirnya sesat dan menyesatkan.
Bid’ah juga sesuatu yang berpaling dari Al-qur’an dan Sunnah dan mengikuti hawa nafsu, firman Allah dalam surah Al-Jatsiyah : 23 yang berbunyi :
                         
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai illahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengarannya dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)”.
Dan bid’ah itu hanyalah merupakan bentuk nyata dari hawa nafsu yang diikuti. Ashabiyah terhadap pendapat tertentu yaitu dari mengikuti dalil dan mengatakan yang haq. Inilah keadaan orang-orang saat ini dari sebagian pengikut-pengikut madzhab, aliran tasawuf serta penyembah-penyembah kubur. Apabila meraka diajak untuk mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah serta membuang jauh apa-apa yang menyelisihi keduanya (Al-Qur’an dan Sunnah) mereka berhujjah (berdalih) dengan madzhab-madzhab, syaikh-syaikh, bapak-bapak dan nenek moyang mereka. Hal ini merupakan penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan kepada bid’ah yakni orang-orang yang menyerupai orang-orang kafir. Hal-hal inilah yang menjadi realita saat ini. Sungguh kebanyakan kaum muslimin telah mengikuti orang-orang kafir dalam amalan-amalan bid’ah dan syirik, seperti merayakan hari-hari kelahiran, mengkhususkan beberapa hari atau minggu untuk amalan tertentu, upacara keagamaan dan peringatan-peringatan, mengadakan perkumpulan hari suka dan duka dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Bid’ah ?
2. Mengapa Bid’ah itu dikatakan sesat ?




















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Bid’ah diambil dari kata bida’ yaitu al ikhtira atau mengadakan sesuatu tanpa adanya contoh sebelumnya atau sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallhu’alaihi wa sallam, tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang. Nabi menilainya sebagai kesesatan dalam agama. Hukum bid’ah adalah haram. Perbuatan yang dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam peribadatan dalam arti sempit (ibadah mahdhah) yaitu ibadah yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya. Firman Allah:
   
Artinya: “Allah yang membid’ahkan (langit dan bumi)....”. (Q.S.Al-Baqarah: 117).
Yakni yang mengadakan atau menciptakannya dengan rupa bentuk yang belum ada contoh yang mendahuluinya, yang seindahnya.
Dalam kitab Shahih Muslim bi Sarah Imam Nawawi dijelaskan “Dan yang dimaksud bid’ah, menurut ahli bahasa, dia ialah segala sesuatu amalan tanpa contoh terlebih dahulu”. Sedangkan jika ditujukan dalam hal ibadah pengertian bid’ah yakni “Suatu jalan yang diada-adakan dalam agama yang dimaksudkan untuk bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ umat terdahulu”.
Bid’ah adalah kebalikan dari sunnah dan bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma umat terdahulu, baik keyakinannya atau peribadahannya atau ia bermakna lebih umum yaitu apa-apa yang tidak di syariatkan oleh Allah maka yang demikian itu adalah bid’ah. Bid’ah dalam syari’ah adalah apa yang diada-adakan yang tidak ada perintah Rasul Shallallahu’alaihi wa sallam. Membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikuti, sesuatu pekerjaan yang sebelumnya belum pernah dikerjakan, itu disebut bid’ah. Terlebih lagi suatu perkara yang disandarkan pada urusan ibadah (agama) tanpa adanya dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada contohnya (tidak ditemukan perkara tersebut) pada zaman Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam.
Secara umum bid’ah bermakna melawan ajaran asli suatu agama artinya mencipta sesuatu yang baru dan disandarkan pada perkara agama atau ibadah. Maka inilah makna bid’ah yang sesungguhnya. Bid’ah dalam agama memecah belah dan menghancurkan persatuan umat. Bid’ah dalam agama juga mematikan sunnah. Pembuat dan pelaku bid’ah mengangkat dirinya sebagai pembuat syariat baru dan sekutu bagi Allah. Pembuat bid’ah memandang agama tidak lengkap dan bertujuan melengkapinya.
Setelah mengetahui bahwa begitu bahayanya bid’ah tersebut maka seharusnyalah kita menghindari dari hal tersebut diatas. Maka dari itu tetaplah berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma sahabat. Firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 153:
•    •               
Artinya: Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (lainnya). Sebab jalan-jalan itu akan mencerai beraikan kau dari jalan-nya. Demikianlah Allah berwasiat kepada kamu agar kamu bertaqwa.
B. Pendapat Para Ulama
Para ulama salaf memberikan beberapa definisi bid’ah. Definisi-definisi ini memiliki lafadz-lafadz berbeda-beda namun sebenarnya memiliki kandungan makna yang sama.
Menurut al-Hawari, bid’ah adalah pendapat pikiran yang tidak ada padanya dari kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya yakni tidak diperintahkan dengan perintah wajib atau perintah sunnah.
Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah satu cara di dalam agama yang diada-adakan (baru) menyerupai agama dan dimaksudkan dalam melakukannya untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Ibnu Hajar al As-Qalani dalam Fathul Bari menjelaskan “setiap bid’ah adalah sesat”yakni apa yang diadakan tanpa dalil padanya dari syariat baik dengan jalan khusus maupun jalan umum.
Menurut Ibnu Rajab yang dimaksudkan dengan bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada dasarnya di dalam syariat. Menurut As-Suyuti, bid’ah adalah suatu ungkapan tentang perbuatan yang bertentangan dengan syariat karena menyelisihi perbuatan yang menjadikannya adanya pengurangan dan penambahan syariat.
Ulama sepakat bahwa dari beberapa pengertian bid’ah tersebut diatas yang paling mengena pada maksud bid’ah yang dapat dikatakan sesat adalah yang diartikan oleh Imam Syathibi. Dari definisi-definisi tersebut dapat diambil pokok-pokok pengertian bid’ah sebagai berikut:
a. Bid’ah adalah sesuatu yang diadakan di dalam agama. Maka tidak termasuk bid’ah sesuatu yang diadakan di luar agama untuk kemaslahatan dunia, seperti pengadaan hasil-hasil industry dan alat-alat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi.
b. Bid’ah tidak memiliki dasar yang menunjukkan dalam syariat. Adapun hal-hal yang memiliki dasar-dasar syariat, maka bukan bid’ah meskipun tidak ada dalilnya dalam syariat secara khusus. Contohnya pada zaman sekarang orang membuat alat-alat, seperti pesawat, roket, tank, dan alin sebagainya, dari alat-alat perang modern dengan tujuan persiapan memerangi orang-orang kafir dan membela kaum muslimin. Maka perbuatannya bukan bid’ah meskipun syariat tidak menjelaskannya secara rinci, dan Rasulullah tidak menggunakan alat-alat tersebut untuk memerangi orang-orang kafir. Tetapi membuatnya termasuk dalam firman Allah secara umum,
  •   
Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja”.(Al-Anfal:60).
Maka setiap sesuatu yang memiliki dasar dalam syara’, ia termasuk syariat dan bukanlah bid’ah.
c. Bid’ah di dalam agama kadang dikurangi dan kadang ditambah, sebagaimana dijelaskan As-Suyuti meskipun perlu pembatasan bahwa sebab menguranginya adalah agar lebih mantap dalam beragama. Adapun jika sebab menguranginya bukan agar lebih mantap dalam beragama, maka bukanlah bid’ah. Seperti meninggalkan perintah yang wajib tanpa udzur. Itu disebut maksiat bukan bid’ah, begitu pula meninggalkan perkara sunnat tidak dianggap bid’ah.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka bid’ah itu hanya ada dalam hal agama atau ibadah, ini sesuai dengan sabda Raulullah Shallallahu’alaihi wa sallam:
مَنْ صَنَعَ اَمْرًا عَلَى غَيْرِ اَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ. (رواه احمد)
Artinya: “Siapa yang membuat hal baru dalam ajaran agama kami apa yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak”.
Dan dapat kita lihat keterkaitan antara hadits di atas dengan hadits di bawah yaitu mengenai niat dalam beribadah:
اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِا لنِّيَةِ
Artinya: Sesungguhnya segala amalan ibadah itu tergantung dari niat.
Jadi ulama sepakat bahwa ciri amal ibadah agar diterima oleh Allah adalah:
1. Meniatkan amal perbuatan semata demi Allah Subhanahu wa ta’ala dan ikhlas kepada-Nya.
2. Amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.
Oleh karenanya saat Imam Al-Fudhail yang beliau adalah gurunya Imam Asy-Syafi’i, dan beliau juga seorang faqih yang zhahid, ditanya tentang firman Allah:
…    …
”….Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya….” (Al-Mulk: 2).
Penanya: Amal apakah yang paling baik ? Beliau menjawab: yaitu amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar. Penanya: Wahai Abu Ali (Al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar itu ? Beliau menjawab: Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar maka amal itu tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Kemudian meskipun amal ibadah ibadah itu benar namun dikerjakan dengan tidak ikhlas juga tidak diterima oleh Allah. Amal ibadah baru diterima bila dikerjakan dengan ikhlas dan benar pula. Yang dimaksud dengan ikhlas adalah dikerjakan semata untuk Allah dan yang dimaksud dengan benar adalah dikerjakan sesuai dengan tuntunan sunnah.
Setelah hal tersebut diatas kemudian muncul lagi permasalahan baru yang disebut sebagai bid’ah hasanah. Sebenarnya bid’ah hasanah ini muncul ketika Umar r.a mendapati kaum muslimin melakukan shalat tarawih pada malam bulan Ramadhan dengan sendiri-sendiri dan ada yang berjama’ah hanya dengan beberapa orang saja dan ada yang berjama’ah dengan jumlah besar. Keadaan ini terus berlangsung hingga Amirul Mu’minin Umar r.a mengumpulkan mereka kepada satu Imam, lalu beliau berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih secara berjama’ah)”. Qiyamul lail merupakan sunnah Rasul, karena Rasul pernah melakukan qiyamul lail di bulan Ramadhan dengan para sahabat selama tiga malam berturut-turut kemudian beliau tidak melakukannya lagi pada malam berikutnya dan bersabda: “Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu lalu kamu tidak akan sanggup melaksanakannya”.
Ada beberapa orang-orang terdahulu yang mengatakan bid’ah itu ada dua bagian, ada bid’ah hasanah, ada bid’ah sayyi’ah. Bid’ah hasanah yaitu apa yang bersesuaian dengan sunnah itu bid’ah hasanah, seperti shalat berjama’ah pada bulan Ramadhan, qiyamul lail, dzikir bersama dll. Sedangkan bid’ah sayyi’ah yakni apa-apa yang bertentangan dengan sunnah, seperti yang sudah dipaparkan diatas tadi.
Namun, ada pula yang tidak sependapat dengan adanya dua bid’ah ini, mereka menganggap setiap bid’ah itu sesat, yang sesuai dengan sabda Nabi:
وَعَظَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلّم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا اْلقُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا اْلعُيُوْنُ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَاَوْصِنَا. قَالَ: اُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَاِنْ تَأَمَّرَعَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبْشِيُّ فَاِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ وَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ خُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ. عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. وَاِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَانِ اْلاُمُوْرِ فَأِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ.(رواه ابو داود والترمذى).
“Aku wasiatkan kepada kamu hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah dan dengarlah serta taatlah sekalipun kepada budak Habsyi, karena sesungguhnya orang hidup diantaramu sesudahku dikemudian hari maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka dari itu hendaklah kamu sekalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah khalifah yang mendapat petunjuk dan lurus, hendaklah kamu berpegang dengannya dan gigitlah dengan gigi gerahammu (berpegang teguh), dan jauhilah oleh kamu sekalian akan perkara yang diada-adakan, maka sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.
Demikianlah nasihat Nabi Shallallahu’alahi wa sallam dan pendapat para generasi terbaik dari umat ini mengenai bid’ah, maka selayaknya mereka itu semua dapat dijadikan panutan untuk kaum muslimin zaman sekarang. Hal ini mereka lakukan demi murninya ajaran Islam dan tidak dikotori oleh bid’ah yang menyesatkan. Ulama-ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam sesudahnya, telah kita lihat kebaikannya pada abad-abad kemuliaan, dan mereka telah bersepakat dalam mencela, memburukkan, menjauhi bid’ah dan pelakunya serta tidak ada keragu-raguan.
C. Pembagian Bid’ah
Bid’ah menurut golongan pertama (Ahli ushul), dan golongan kedua (Ahli fiqih):
1. Fi’liyah ialah membuat sesuatu perbuatan.
2. Tarkiyah ialah meninggalkan sesuatu perbuatan atau tuntunan agama, baik wajib maupun sunnat, dengan memandang bahwa meninggalkan itu, agama. Jika ditinggalkan lantaran malas, tidak dinamai bid’ah, hanya menyalhi suruh saja.
3. ‘Amaliyah yaitu bid’ah-bid’ah yang dikerjakan dengan anggota tubuh, dengan panca indra yang lima, luar dan dalam, seperti: mengerjakan sesuatu yang tidak dikerjakn Nabi.
4. I’tiqadiyah yakni memegang sesuatu kepercayaan (I’tiqad) yang berlawanan dengan yang diterima Rasul karena sesuatu kesamaran, seperti kepercayaan orang Syi’ah, wajib menyapu kaki, tak boleh menyapu sepatu, dan seperti I’tiqad kaum musyabbihah, yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk.
5. Zamaniyah adalah meletakkan di masa tertentu.
6. Makaniyah ialah meletakkan esesuatu ibadat di tempat tertentu.
7. Haliyah yaitu meletakkan sesuatu ibadat dalam keadaan yang tertentu.
Jelasnya meletakkan sesuatu ibadat di masa tertentu atau di tempat tertentu, atau dalam keadaan yang tertentu, missal: bid’ah yang terjadi dalam perayaan-perayaan hari-hari raya dan musim, perhalatan, dan seperti bid’ah-bid’ah yang terjadi di mesjid-mesjid, di tempat-tempat kematian, di kuburan dan seperti bid’ah yang terjadi dalam perjamuan dalam ibadat, dalam pergaulan dalam beberapa adat dan kepercayaan.
8. Haqiqiyah ialah sesuatu pekerjaan yang semata-mata bid’ah, tidak ada sedikit juga perpautannya dengan Syara’
9. Idlafiyah ialah sesuatu bid’ah yang terdapat padanya dua jihat. Apabila ditinjau dari jihat yang pertama, ia bukan bid’ah. Apabila ditinjau dari jihat kedua, nyatalah kebid’ahannya. Bid’ah yang serupa ini, dinamai bid’ah Idlafiyah (yakni dibid’ahkannya mengingat salah satu jihatnya). Tegasnya, apabila dilihat kepada asal hukumnya, sunnah. Tetapi apabila dilihat kepada kaifiyatnya, kepada kelakuan melaksanakannya, bid’ah.
10. Kulliyah yaitu yang mendatangkan kecederaan umum, seperti mengingkari hadits-hadits Nabi lantaran mencukupi dangan Al-Qur’an saja.
11. Juz-iyah yaitu yang merusakkan sesuatu pekerjaan saja, seperti bid’ah mencederakan adzan, berdiri sebelah kaki dalam sembahyang.
12. ‘Ibadiyah ialah yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yakni yang dijadikan ibadat.
13. ‘Adiyah yaitu yang dikerjakan bukan dengan maksud ibadah.
Pembagian khas
Pembagian ini dilakukan oleh Al Imam Al ‘Izz ibn Abdis Salam dan kemudian diteruskan oleh Al Qalafy. Mula-mula mereka membagi kepada dua bagian:
a) Bid’ah Hasanah
b) Bid’ah Qabihah
Bid’ah hasanah mereka membaginya kepada: wajibah, mandubah, dan mubahah. Dan bid’ah Qabihah, mereka membaginya kepada: muharramah dan makruhah.
Bid’ah wajibah, menurut segolongan para fuqaha, ialah pekerjaan yang masuk kepada qaedah wajib dan masuk kedalam dalil agama. Seperti mengumpulkan Al-Qur’an dan membukukannya dalam mushaf.
Bid’ah mandubah ialah pekerjaan yang diujudkan oleh qaedah-qaedah nadab (sunnat) dan dalil-dalilnya, seperti mengerjakan tarawih berjamaah setiap malam bulan puasa, diimami oleh seorang imam yang tertentu.
Bid’ah mubahah ialah pekerjaan yang diterima oleh dalil, seperti makan di atas meja dan seumpamanya.
Bid’ah muharramah ialah pekerjaan yang massuk kedalam qaedah-qaedah haram dan dalil haram.
Bid’ah makruhah ialah pekerjaan-pekerjaan yang masuk ke dalam qaedah-qaedah makruh dan dalil-dalil makruhah.
Pembagian tersebut dibantah keras oleh Asy Syathiby. Menurut Asy Syathiby, contoh-contoh yang didatangkan untuk bid’ah wajibah, adalah pekerjaan yang dikehendaki maslahat mursalah. Karenanya bukan bid’ah. Contoh-contoh bid’ah mandubah, menurut Asy Syathiby, memang sunnat. Contoh-contoh bid’ah mubahah, dapat didasarkan kepada perbuatan-perbuatan Nabi. Conoth bid’ah makruhah, diterimanya, dan contoh-contoh bid’ah muharramah, menurutnya memang haram.
Pendapat Al ‘Izz ibn Abdis Salam yang dituruti Al Qarafy dan beberapa ulama terkenal, seperti Az Zarkasyi tak dapat ditolak mentah-mentah. Juga pendapat Asy Syathiby yang diikuti juga beberapa ahli sunnah, seperti Asy Syaukany, tak dapat ditolak bulat-bulat.
Sesudah kita pelajari apa yang dikatakan Al Qarafy dan apa yang dikatakan Asy Syathiby, nyatalah bahwa beliau-beliau itu hanya berselisih pada member nama pekerjaan bukan pada menetapkan hukum pekerjaan. Mengumpulkan Al-Qur’an, menurut Al Qarafy adalah bid’ah wajibah, tapi perlu dilaksanakan. Menurut Asy Syathiby, maslahat mursalah, perlunjuga dikerjakan.
Hanya yang kita sesali ialah sikap kebanyakan Mutafaqqihin sekarang, yang apabila kita bid’ahkan sesuatu pekerjaannya, mereka langsung berprisai dengan “bid’ah itu terbagi” dan perbuatanku ini bid’ah hasanah!
Hanya di sini perlu ditegaskan bahwa: “Sesuatu ibadat yang tiada dikerjakan Nabi dan tidak termasuk ke dalam qaedah agama, baik oleh yang membagi bid’ah kepada lima, maupun oleh yang tidak membaginya kepada lima, menetapkan ketiadaan bolehnya kita beribadat yang semacam itu.” Membagi bid’ah kepada lima ataupun sepuluh, tidak dapat dijadikan alasan untuk membaguskan pekerjaan yang dikerjakan sebagai ibadat, jika tidak mempunyai dalil-dalil yang menunjuk kepada tersuruhnya.
D. Pemahaman Para Ulama Terhadap Hadits “Kullu Bid’atin Dhalalah”
Golongan yang menta’rifkan bid’ah dengan ta’rif Asy Sythiby dan Asy Syamany, berpendapat: yang diada-adakan disini, tertentu dengan kejadian-kejadian yang tercela saja yang menyalahi kitab dan sunnah, atau dijadikan yang diada-adakan itu, sebagai sunnah yang diterima dari Nabi sendiri. Mereka menetapkan hadits ini atas keumumannya.
Golongan yang menta’rifkan bid’ah dengan ta’rif Al ‘Izz yakni yang diada-adakan sesudah Nabi, walaupun baik, ibadat atau adat, mentakhsiskan umum hadits ini dengan mengatakan bahwa bid’ah yang dipandang sesat hanyalah bid’ah yang tercela yang tidak mendapat kebenaran dari Rasul, tidak masuk ke dalam Syara’. Adapun kejadian yang diada-adakan sesudah Nabi, tapi ada asal atau pokoknya dari Syara’, maka bid’ah yang semacam ini, keluarlah dari umum bid’ah.
Syubhat pertama: Sembahyang tarawih dan sembahyang malam di bulan Ramadhan. Golongan pemangku bid’ah mengatakan: betapa tuan-tuan mencela-cela segala bid’ah, padahal kita dapati orang-orang salaf mengerjakan pekerjaan yang tidak dikerjakan Nabi, seperti: sembahyang tarawih dengan diimami oleh seorang imam tertentu. Menjamaahkan sembahyang tarawih telah di ijma’kan oleh segenap umat Islam. Tuan-tuan mengatakan Segala bid’ah sesat, padahal menjamaahkan tarawih, bukan kesesatan.
Menjamaahkan tarawih bukan suatu bid’ah, bukan suatu pekerjaan yang tiada dikerjakan Nabi. Menjamaahkan tarawih, suatu sunnah, Nabi pernah mengerjakannya, diikuti para sahabat, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud dan At Turmudzy dalam dalam satu hadits yang hasan shahih. Akan tetapi, karena Rasul takut dijadikan fardhu atas para umat, beliau tiada meneruskan pekerjaan menjamaahkan tarawih itu.
Dengan demikian, menjadilah pengertian bid’ah dalam perkataan ‘Umar: “Sebaik-baik bid’ah adalah jamaah tarawih”, bid’ah lughawiyah, sebagaimana yang telah ditegaskan juga oleh Ibnu Hajar Al Haitamy. Dinamakannya bid’ah, adalah dengan pandangan bahwa perbuatan itu tidak dilazimi Nabi, tidak dibangun dimasa Abu Bakar. Dizaman ‘Umar baru digerakkan dengan secara resmi.
Syubhat kedua: Adzan ‘Ustman, kata pemangku bid’ah: di masa Rasul, adzan hari jum’at hanya dilaksanakan sekali saja, diucapkan dipintu mesjid, muadzin berdiri bertentangan dengan tempat khatib duduk. Keadaan ini berjalan terus di masa Abu Bakar dan ‘Umar. Setelah kendali pemerintahan dipegang khalifah ‘Utsman, barulah beliau menyuruh orang melaksanakan sekali lagi adzan pada hari jum’at diucapkan di atas Zauraa. Sebenarnya begini adzan ‘Utsman tiada keluar dari syara’ yaitu memberitahukan sembahyang. Beliau menyuruh orang membaca adzan di atas Zauraa sebelum adzan yang telah ditetapkan Nabi, yaitu yang dibaca dikala khatib telah naik ke mimbar, dipintu mesjid, bertentangan berdiri muadzin dengan tempat duduk khatib, adalah dengan maksud menarik perhatian penduduk pasar yang telah sangat ramai dimasanya, untuk pergi ke mesjid. Beliau tidak menambah barang sesuatu lafadz adzan dan bukan pula adzan itu untuk sesuatu maksud yang tidak dimaksudkan syara’, karenanya tiadalah, dapat kita pandang penambahan yang diadakan ‘Utsman itu, bid’ah yang sesat. Jadi, ‘Utsman menambah satu adzan itu, adalah dengan maksud mengingatkan penduduk pasar dan menarik perhatian mereka kepada menyegerakan datang ke mesjid, dengan tidak memandangnya suatu ibadat yang ditambah.
Syubhat ketiga ialah mafhum yang didapati dari memahami hadits:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ اَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَيَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْأً. وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَيَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ اَوْزَارِهِمْ شَيْأً. (رواه مسلم).
“Barang siapa membuat suatu sunnah yang baik, ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya dengan tidak dikurangi pahala yang diberikan kepada yang mengerjakan sendiri. Barang siapa membuat sunnah yang buruk, ditimpakanlah atas dirinya dosa bid’ahnya dan dosa bid’ahnya itu, sedikitpun tiada dikurangi”. (H.R.Muslim).
Hadits ini menyandarkan sunnah kepada kita mukallaf sendiri. Difahamkan dari perkataan “barang siapa membuat sesuatu sunnah”, dibolehkan kita membuat-buat sesuatu sunnah baru. Sekiranya dimaksud hanya mengerjakan telah ditetapkan Syara’, tentulah dikatakan: “barang siapa menghidupkan, atau barang siapa mengamalkan".
Syubhat ini dijawab Asy Syathiby dengan dua jawaban, pertama: Dikehendaki dengan membuat sunnahdi sini, bukan mengada-adakan, atau mengikhtira’kannya, hanya menghidupakn atau mengamalkan. Ma’na ini ditunjuk oleh sebab wurud (datang)nya hadits sendiri. Yang kedua: Dikehendaki membuat sunnah di sini ialah membuatnya dalam urusan keduniaan, dengan syarat tiada terbentur dengan pokok Agama dan maksu-maksudnya.
Syubhat yang keempat: mafhum yang difahamkan dari hadits:
مَا رَآهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
“Sesuatu yang dipandang baik oleh orang Islam, dipandang baik pula oleh Allah”.
Lahir perkataan ini ialah sesuatu yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, Allah memandangnya baik juga. Tegasnya, manusia dapat memandang baik sesuatu, dapat memandang buruk sesuatu dengan tudak berdasar Syara’. Syubaht ini dijawab dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Hadits ini bukan hadits yang marfu’ yang diterima dari Nabi, hanya paling baik ia dipandang satu atsar yang diterima dari Ibnu Mas’ud. Dengan demikian tidak dapat dijadikan hujjahh.
b. Jika kita terima juga hadits ini, maka ma’nanya ialah: “segala yang disepakati oelh ahli ijma’ dari urusan-urusan yang diserahkan kepada mereka, itulah yang dipandang baiknya oleh Allah”.
Jadi, hadits ini memaksudkan putusan ijma’ (kata bulat dari ahli ijma’), dalam soal-soal yang tak ada padanya nash Al-Qur’an dan nash hadits, tidak berlawanan pula dengan sesuatu qaedah yang lengkap.
BAB III
KESIMPULAN

Bid’ah merupakan sesuatu yang dianggap baru dan tidak ada contoh sebelumya atau dalam syariah ialah sebuah perbuatan yang tidak pernah diperintahkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam. Perbuatan yang dimaksud ialah perbuatan baru atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadahan. Bid’ah adalah kebalikan dari sunnah dan bertentangan dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma umat terdahulu, baik keyakinannya maupun peribadahannya. Dan segala sesatu yang tidak disyariatkan oleh Allah maka yang demikian adalah bid’ah.
Bid’ah dikatakan sesat dikarenakan dalam pengertiannya menjelaskan bahwa bid’ah ialah suatu perbuatan penambahan atau pengurangan dalam peribadahan yang tidak ada contoh, syariat, rukun, dan perintah terlebih dahulu. Dan juga dengan adanya bid’ah umat semakin terpecah belah satu sama lain karena masing-masing mempunyai bid’ah-bid’ah yang mereka yakini kebenarannya. Juga sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alahi wa sallam, yang artinya: “ Setiap bid’ah itu sesat”.














DAFTAR PUSTAKA

Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Rajawali Pers. Jakarta. 2001
Said Al-Khin, Mustofa. Larangan Berbuat Bid’ah, jilid I. Musasah
Ar-Risalah Dirut. Jakarta. 2005
Shalih Al-Munajid, M. Sunnah dan Bid’ah Tahunan. Aquam. Jakarta. 2009
Thalib M. 25 Ciri Zaman Edan dan 20 Langkah Menghadapinya. Irsyad Baitus
Salam. Bandung. 2000
Yahya, Imam. Syarah Hadits Arba’in. Trigenda Karya. Bandung. 1995

posting pertama

بسم الله الرحمن الرحيم


MAKALAH TAFSIR DAN TA'WIL


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kata tafsir dan takwil adalah dua kosa kata yang jika di lihat secara sepintas akan tampak dua arti yang hampir sama pula. Namun demikian, keduanya mempunyai makna dan fungsi yang berbeda di dalam kajian ilmu al-quran. Ulama juga berbeda pendapat dalam mendefinisikannya.
Peranan tafsir dan takwil dalam rangka memahami ayat Al-Qur’an adalah sangat diperlukan, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan dalam memahami ayat-ayat Allah SWT.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan kami ulas dalam makalah yang sederhana ini adalah:
• Pengertian tafsir
• Pengertian takwil
• Perbedaan di antara keduanya



BAB II
PEMBAHASAN
TAFSIR DAN TAKWIL

Baik kata tafsir maupun kata takwil keduanya dijumpai di dalam Al-Qur’an dan al-hadits atau atsar sahabat. Kata tafsir dalam Al--Qur’an hanya tersebut satu kali yaitu dalam surat al-furqan ayat 33:
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
Berbeda dengan kata tafsir, kata takwil terulang 16 kali dalam 7 surat dan 15 ayat, diantaranya:
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al-Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al -Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Ayat-ayat lain yang di dalamnya terdapat kata takwil adalah : Al-Nisa ayat 58, Al-A’raf ayat 17, Yunus ayat 39, Yusuf ayat 6, 21, 36, 37, 44, 45, 100, dan 101, Al-Isra’ ayat 35, Al-Kahfi ayat 78 dan 83. Dalam hadits juga ditemukan kata takwil, seperti dalam sabda Nabi Muhammad Saw:
اللهمّ فقّهه فى الدّين وعلمه التأويل (رواه احمد)
Ya Allah ! berilah pemahaman (mendalam) kepada ibn Abbas dalam memahami agama, dan ajarilah dia tentang takwil. (HR. Imam Ahmad).
Adapun kata tafsir selain terdapat dalam Al-Qur’an, juga dijumpai dalam atsar di bawah ini:
روي عن بعض اهل العلم من اصحاب النّبي صلى الله عليه وسلّم وغيرهم انّهم شددوا فى ان يفسر القرآن بغير علم. وروي عن مجاهد وقتاده وغيرهما من اهل العلم انّهم فسروا القرآن فليست الظن بهم انهم قالوا فى القرآن وفسرواه بغير علم او من قبل انفسهم.. (رواه الترمذى).
Diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Saw. dan lain-lain bahwa mereka sangat memperhatikan persoalan ini (yakni) tentang penafsiran Al-Qur’an tanpa ilmu. Dan diriwayatkan (pula) dari Mujahid dan Qatadah serta yang lain-lain dari kalangan ilmuan bahwa mereka menafsirkan Al-Qur’an tetapi mereka (sama sekali) tidak memprediksi kalau mereka berbicara tentang Al-Qur’an atau mereka menafsirkannya tanpa ilmu pengetahuan atau (semata-mata) dari sisi pribadi (pendapat) sendiri. (Riwayat Al-Turrmudzi).
A. TAFSIR
Secara harfiah, tafsir berarti menjelaskan, menerangkan, menampakkan, menyibak, dan merinci. Kata tafsir diambil dari kata al-fasr yang berarti al-ibanah dan al-kasyf, yang keduanya berarti membuka (sesuatu) yang tertutup .
Di dalam kamus bahasa Indonesia, kata tafsir diartikan dengan “keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al--Qur’an”. Terjemahan Al-Qur’an masuk ke dalam penjelasan ini. Jadi tafsir Al-Qur’an ialah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian menafsirkan Al-Qur’an ialah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemehamannya dari ayat-ayat tersebut .
Di dalam buku lain dijelaskan bahwa:
Menurut Al-Kibby dalam At Tas-hiel
التفسير شرح القرآن وبيان معناه والافصاح بما يقتضيه بنصّه او اشارته او نجواه.
Tafsir itu ialah: Mensyarahkan Al--Qur’an , menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, ataupun dengan najuannya.
Menurut As Zarkasyy dalam Al-Burhan:
التفسير بيان معانى القرآن واستخراج احكامه وحكمه.
Tafsir itu ialah: Menerangkan makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hukmahnya .
Definifi tafsir secara istilah menurut Abu Hayyan adalah: “Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.”
Kemudian Abu Hayyan menjelaskan secara rinci unsur-unsur definisi tersebut sebagai berikut:
Kata-kata “Ilmu” adalah kata jenis yang meliputi segala macam ilmu. “Yang membahas cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an”, mengacu kepada ilmu qiraat. “Petunjuk-petunjuknya”, adalah pengertian-pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz itu. Ini mengacu pada ilmu bahasa yang diperlukan dalam ilmu tafsir ini. Kata-kata “hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun”, meliputi ilmu Sharaf, ilmu I’rab, ilmu Bayan dan ilmu Badi’. Kata-kata “Makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun”, meliputi pengertiannya yang hakiki dan majazi, sebab suatu susunan kalimat (takrib) terkadang menurut lahirnya menghendaki suatu makna tetapi untuk membawanya ke makna lahir itu terdapat penghalang sehingga takrib tersebut harus dibawa ke makna yang bukan makna lahir, yaitu majaz. Dan kata-kata “Hal-hal yang melengkapinya”, mencakup pengetahuan tentang nash, sebab nuzul, kisah-kisah yang dapat menjelaskan sesuatu yang kurang jelas dalam Al-Qur’an, dan lain sebagainya .
Tafsir adalah ilmu syariat paling agung dan paling tinggi kedudukanya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia. Objek pembahasannya adalah kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah dan tambang segala keutamaan .
Tujuan mempelajari tafsir ialah memahamkan makna-makna Al-Qur’an, hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya, akhlak-akhlaknya dan petunjuk-petunjuknya yang lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Maka dengan demikian nyatalah bahwa faidah yang kita dapati dari mempelajari tafsir ialah terpelihara dari salah memahami Al--Qur’an. Sedang maksud yang diharap dari mempelajarinya ialah mengetahui petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, hukum-hukumnya dengan cara yang tepat .
B. TAKWIL
Secara lughawi, kata takwil berasal dari al-awl yang artinya kembali, atau dari kata al-ma’al yang artinya tempat kembali dan al-aqibah yang artinya kesudahan. Juga ada yang menduga berasal dari kata al-iyalah yang maknanya al-siyasah yang antara lain artinya adalah mengatur.
Muhammad Husayn al-Dzahabi, mengemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik), takwil memilki dua macam pengertian:
Pertama: menafsirkan suatu pembicaraan (teks) dan menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak. Dalam konteks pengertian ini, takwil dan tafsir benar-benar sinonim (muradif). Inilah yang dimaksud dengan kata takwil yang identik dengan tafsir seperti dalam ungkapan sebagian pakar tafsir Al-Qur’an. Diantaranya Mujahid bin Jabar yang biasa menggunakan kata-kata (انّ العلمآء يعلمون تأويله) yang artinya: Para ulama mengetahui (mengerti) penafsiran Al--Qur’an. Ibn Jarir al-Thabari biasa menggunakan redaksi (القول فى تأويل قوله تعالى) maksudnya, pendapat dalam menafsirkan firman Alllah Ta’ala.
Kedua: takwil adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs al-murad bi al-kalam). Kalau pembicaran itu berupa tuntutan, maka takwilnya adalah perbuatan yang dituntut itu sendiri. Jika pembicaraan itu berbentuk berita, maka yang dimaksud adalah substansi dari sesuatu yang diinfofmasikan.
Jika diamati dengan seksama, antara makna pertama dan makna kedua memang tampak terhadap perbedaan cukup mendasar. Yang pertama memandang takwil identik benar dengan tafsir, sehingga dengan demikian maka takwil berwujud pada pemahaman yang bersifat dzihny (penalaran) di samping lafal (teks), sementara takwil dalam bentuk kedua adalah semata-mata hakikat sesuatu yang terdapat di balik (di luar) sesuatu itu sendiri dalam kaitan ini teks Al-Qur’an.
Adapun yang dimaksud dengan takwil menurut pandangan kebanyakan ulama kontemporer (khalaf) yang didukung kalangan fuqaha (ahli-ahli hukum islam), mutakallimin (para teolog), ahli-ahli hadits (muhadditsin) dan kelompok sufistik (mutashawwifah) ialah:
صرف اللفظ عن المعنى الراجح الى المعنى المرجوح لدليل يقترن به.
Mengalihkan lafal dari makna (pengertiannya) yang kuat (rajah) kepada makna lain yang dikuatkan atau dianggap kuat (marjuh) karena ada dalil lain yang mendukung.
Sebagai contoh, kata yadun dalam firman Allah:
…يد الله فوق ايديهم...
... Tangan (kekuasaan) Allah di atas tangan (kekuasaan) mereka... (al-Fath (48) : 10).
Kata yadun arti yang kuat (rajih) adalah tangan. Sedangkan makna yang dikuatkan (marjuh) adalah kekuasaan. Ketika memahami ayat ini, umumnya mufassir menggunakan takwil. Yakni mengalihkan makna rajih (tangan) kepada makna marjuh (kekuasaan) karena ada alasan (dalil) yaitu ketidakmungkinan Allah memiliki tangan dalam arti inderawi .

C. PERBEDAAN ANTARA TAFSIR DENGAN TAKWIL
Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara dua kata tersebut. Berdasarkan pada pembahasan di atas tentang makna tafsir dan takwil, kita dapat menyimpulkan pendapat terpenting di antaranya sebagai berikut:
1. Apabila kita berpendapat, takwil adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka takwil dan tafsir adalah dua kata yang bersdekatan atau sama maknanya. Termasuk pengertian ini adalah do’a rasulullah untuk Ibnu Abbas “Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan memahami agama dan ajarkanlah kepadanya takwil”.
2. Apabila kita berpendapat, takwil adalah esenei yang dimaksud dari suatu perkataan, maka takwil dari talab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri dan takwil dari khabar adalah esensi sesuatu yang diberitakan. Atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dengan takwil cukup besar, sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan dan penjelasan ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya dan dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukkannya. Sedang takwil ialah esensi sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam pikiran). Sebagai contoh, jika dikatakan: “Matahari telah terbit”, maka takwil ucapan ini ialah terbitnya matahati itu sendiri. Inilah pengertian takwil yang lazim dalam bahasa Quran sebagaimana telah dikemukakan. Allah berfirman:
“Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya. Katakanlah: (kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surah seumpamanya dan panggilah siapa saja yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Tetapi sebenarnya mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka takwilnya.” (Yunus. Ayat 38-39).
Yang dimaksud dengan takwil di sini adalah terjadinya sesuatu yang diberitakan.
3. Dikatakan, tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang shahih karena maknanya telah jelas dan gamblang. Sedang takwil adalah apa yang disimpulkan para ulama. Karena itu sebagaian ulama mengatakan, “Tafsir adalah apa yang berhubungan dengan riwayat, sedangkan takwil adalah apa yang berhubungan dengan dirayah”.
4. Dikatakan pula, tafsir lebih banyak dipergunakan dalam menerangkan lafaz dan mufradat (kosa kata), sedang takwil lebih banyak dipakai dalam menjelaskan makna dan susunan kalimat. Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat lain .


DAFTAR PUSTAKA

Amin Suma, Muhammad. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Pustaka Firdaus.
Jakarta 2001
Baihan, Nashruddin. Metode Penafsiran Al-Quran. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta 2002
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran/ Tafsir. PT. Bulan
Bintang. Jakarta. 1992
AS, Mudzakkir. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Pusaka Lentera Antar Nusa.
Bogor. 2009